Kamis, 14 Januari 2010

Ingatan Near

Dia masih menghening. Tak berkutik. Seakan dunia menghukumnya. Masih menikmati wewangian darah segar yang menyeruak di ruangan itu.

Untuk apa dia menangis?

Untuk apa dia bersedih?

Apakah dengan begitu, akan membuat mereka kembali?

Kembali memeluknya...

Kembali menyayanginya...

Kembali ada untuknya...

Percuma baginya menangis. Mereka pun tak akan kembali. Dia hanya merasa ketakutan. Bergidik ngeri. Tak menyangka baginya. Ini seperti mimpi. Terlalu kejam baginya. Dia hanya bersembunyi dibalik almari ebony. Meski begitu, wewangian amis itu masih menyeruak. Ke indra penciumannya.

“Kumohon! Buka! Aku tahu ada orang di dalam! Cepat buka!”

Si rambut putih itu hanya terdiam. Mendekap boneka beruangnya erat. Merasa sesuatu menghantuinya.

Dia mendengar satu orang lagi.

“Dobrak saja. Tak ada cara lain selain itu.”

Dia semakin ketakutan. Tak berharap bahwa semua kembali.

Hanya berharap...

Dia bisa terbebas dari ketakutannya.

Dari wewangian yang menusuk penciumannya.

Dari apapun yang mengancamnya.

Dari sesuatu... yang dapat membuatnya tergeletak tak bernyawa di tempatnya.

B R A A A A A K!!!

Pintu itu terbuka. Si rambut putih itu meringkuk ketakutan. Boneka beruang itu ia dekap seerat mungkin.

“Apa ini? Pembantaian?” Seru seorang lelaki itu dingin. Suara tua menyambutnya. “Sepertinya begitu... keluarga River memang dibantai. Apa tindakan selanjutnya?”

Si rambut putih itu meringkuk. Dia... meneteskan air mata pertamanya. Meski sebenarnya ia tak mau, tetapi bulir hangat itu memaksanya.

“Cari orang yang selamat. Aku pikir ada orang yang selamat disini.”

Semua mengobrak-abrik rumah itu. Tak ada yang hidup disana. Sampai si bungkuk itu membuka almari ebony.

“?”

Si bungkuk itu membawa rambut putih itu keluar dengan boneka teddy kesayangannya.

“Aku temukan satu.” Ucap si bungkuk itu dingin. Anak bermbut putih itu menghening. Tubuhnya dingin. Ketakutan menyelimutinya.

“Watari? Kau temukan lagi?”

Laki-laki tua itu hanya menggeleng pelan.

“Baiklah... kita bawa saja anak ini ke tempatmu.”

Lelaki tua yang satu lagi muncul.

“Wammy House?”

Lelaki muda hanya mengangguk.

“Apa kau keberatan Roger?” Roger menggeleng. “Keputusan L. adalah keputusan yang terbaik.” L mengalihkan pandangannya langsung ke Roger. “Sekalipun keputusanku membuat kesalahan besar?” Roger terdiam. L memang selalu menyudutkannya.

L membawa nya ke tempat yang megah. Anak berambut putih itu memilin rambut putih ikalnya. Menatap kagum pada tempat itu. “Roger... ku titipkan anak ini padamu. Jangan biarkan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Berjanjilah padaku.” Anak berambut putih itu merasa cocok dengan tempatnya ia senang dengan tempat itu. Satu hal lagi yang membuat dia senang adalah lelaki bungkuk di hadapannya. Dia terus menatapnya dengan perasaan kagum.

“Aku berjanji L.”

L mengangguk pelan. “Saatnya kita pergi Watari...” anak berambut putih itu berhenti menatap kagum. Dia justru merasa cemas. Selangkah lagi L keluar dari ruangan itu, anak rambut putih memeluk kakinya. Mendekapnya erat.

“?!” L merasa terkejut. Anak itu menangis di kakinya.

Dalam hatinya ia berkata...

kumohon... tinggalah disini...’

L tersenyum lembut menatapnya dengan tatapan lembut. Berjongkok dihadapnnya. Tingginya kini menjadi sama.

“Siapa namamu?” Anak itu menjawabnya dengan sedikit tangsian. “Nate... River...”

L hanya menepuk kepalanya perlahan. Mengusapnya dengan lembut. “Kupanggil kau Near... kau akan selalu dekat dengan orang-orang yang membutuhkanmu.” Near hanya diam. Memberinya pelukan. Berbisik lembut padanya. “jangan... pergi...” L tersentuh padanya. Jarang sekali ia menemukan anak seperti ini.

“Hei... Jadilah yang terbaik... maka, aku akan kembali kemari.”

Near kembali menghening. Dan mengangguk pelan.

“aku akan menjadi yang terbaik.... aku, akan berusaha...”

L memberikan senyuman terbaik padanya. “sekarang, izinkan kami pergi.” Near hanya diam. “tetapi berjanjilah kau akan kemari, apabila aku menjadi yang terbaik.” L hanya menjawab satu kalimat yang membuatnya tersenyum tulus.

Aku berjanji...’

Mereka pun pergi. Near menatapnya perih dari jendela dingin. Tentu... ini tanggal 3 December. Musim salju sudah menyambut United Kingdom saat ini.

Roger membawanya ke suatu tempat. 2 anak menunggunya disana. Si rambut merah seakan tak peduli. Dia hanya terus bermain game yang ada di genggamannya. Sedangkan si rambut kuning hanya mengunyah coklatnya dan menatapnya heran. Menatap Near penuh keheranan. Rambut kuning itu melirik Near penuh. Dari bawah kakinya hingga pucuk rambut putihnya. Dia menatapnya detail sambil mengunyah terus coklat nya.

“Ini kamarmu Near. Disini kau bersama dengan kedua temanmu. Dia Matt dan Mello.” Matt menoleh sedikit pada Near. Mello hanya memandangnya.

“Apa tadi L kemari, Roger?” Mello tak menanyakan Near. Dia hanya peduli pada L. Roger mengangguk. “mengapa kau tak memberi tahuku?! Aku menunggunya selama 2 tahun! Mengapa kau seperti ini ROGER?!?!” Roger hanya menutup pintu kamar itu perlahan. Tak peduli pada Mello.

B U A A G H! ! ! !

“PERSETAN DENGANMU TUA BANGKA!!”

Seru Mello dengan tendangan kaki di pintu kamar. Near menatapnya. Matt hanya terdiam melanjutkan permainan yang tertunda. Mello menyudutkan dirinya berteriak. Menangis sesaat.

L... kau membenciku? Kau ingin menghukumku?’

Batin Mello dalam hati kecilnya. Near terus memandangnya. Penuh keheranan.

AKU MEMBENCIMU L!!!! AKAN KUBUNUH KAU!!!”

Mello berteriak sekuat tenaganya. Kali ini Matt bertindak. “Aku tahu kau ingin bertemu dengannya... tetapi bagaimana dengan masalah KI—”

CUKUP! AKU TAK MAU APAPUN ALASAN DARIMU! AKU HANYA INGIN ALASAN DARI L!!!!

Matt tak diizinkan berbicara. Bahkan katanya terpotong karena Mello. Matt membenci perlakuan seperti itu padanya. Dia geram pada lelaki di depannya. Dia lemparkan permainan di tangannya. Mengepal tangannya sekuat tenaganya.

Dia menarik kerah baju Mello. Dengan perlakuan Matt, Mello kini hanya terpojok.

B D A A A G H! ! ! ! !

Matt menonjok Mello hingga darah segar mengalir dari bibir tipis Mello.

“KAU PIKIR HANYA KAU YANG INGIN BERTEMU DENGAN L?!?!?!KAU PIKIR HANYA DIRIMU HAH?!?! K A U S A L A H!!!

Mello menghapus darah yang keluar dari sudut bibirnya. Matt terus mengepal tangannya. Near masih terdiam.

“Aku... juga...”

Matt menghening sesaat. Meneteskan air matanya yang hangat. Mello dapat dipastikan merasa menyesal saat ini. Near masih menatap kosong pada mereka.

“....I N G I N B E R T E M U D E N G A N N Y A B O D O H!!!!!!!

Matt menangis. Mengepal tangannya hingga darah mengucur dari tangan mungilnya. Mello merasa menyesal.

Mello berusaha bangkit untuk meminta maaf pada Matt. Namun di saat Mello berhasil berdiri sempurna, Matt pergi. Membuka pintu kamar itu dan mengucapkan sesuatu pada Mello.

Aku membenci segalanya darimu...’

Matt menutup pintu itu dengan kasar. Dan hentakan kakinya terdengar semakin menghilang... dan menghilang. Mello tertunduk. Merasakan penyesalan yang dalam pada hatinya. Dia menggigit bagian bawah bibirnya.

“Kesalahanku...”

Desisnya...

“Aku terlalu sering membentaknya...”

Dia mengakuinya...

“Aku... bodoh...”

Dia terdiam menghening.

“Cih!”

Mello menyusulnya. Menyusul Matt yang tengah dilanda emosi padanya. Mello sadar dia bersalah. Dia harus membayar kesalahnnya lebih dari sekedar permintaan maaf.

Pintu kamar itu Mello buka tanpa ditutup kembali.

Near hanya dapat melihatnya berlari...

Jauh...

Semakin jauh...

Hingga menghilang dari pantulan matanya.

Near sadar... dia hanya sendiri. Mendekap boneka teddy itu erat. Menyadari hanya boneka itu yang setia padanya. Bahkan mungkin L belum tentu akan setia dengan janjinya. Near sadar dia tak punya siapapun...

Siapapun yang peduli padanya...

Menyayanginya...

Memberinya kasih dan sayang secara tulus.

Near tahu... dia memang ditakdirkan untuk sendiri... sendiri... kesepian... memakan rasa sunyi yang ada disekitarnya...

“Matt... Mello...”

Near kembali terdiam. Memeluk boneka teddy itu di dadanya. Di otaknya hanya ada tekad untuk mewujudkan sesuatu.

“Aku akan membuat impian kalian terwujud.”

Tangannya mengepal. Matanya menerawang ke jendela bening itu. Meyentuh kaca itu. Membuat embun di kaca itu. Dan masih menerawang ke luar. Melirik salju turun dengan gemerlap surga. Memejamkan matanya dan membukanya kembali.

“Janjiku...”

Near kembali terdiam. Menerawang kembali ke jendela itu. menikmati salju yang turun dengan gemulainya. Perlahan menyelimuti Wammy House. Menyentuhkan keningnya ke jendela itu. memikirkan perkataan L padanya. Lebih tepat nya...

Janjinya.

‘...Jadilah yang terbaik... maka, aku akan kembali kemari...’

Near kini memandang kosong ke jendela itu. keningnya masih tertempel di jendela dingin itu. menghembuskan nafas cepatnya. Menyentuh jendela itu dengan jari lentiknya.

“L... tepatilah janjimu padaku... demi mereka...”

Near kembali terdiam.

Janji dan Janji...

Tepatilah...

Demi mereka...

Demi mereka yang kusayangi,

Seperti pula aku menyayangimu.

Jangan buat aku meneteskan kembali kepedihan itu.

Hanya...

Tepatilah...

Janji suci yang kau buat untuk kau tepati.

Tepatilah...

Dan aku akan selalu menyayangimu.

0 komentar:

Posting Komentar



.

Pemilik Blog

Foto saya
jakarta selatan, jakarta, Indonesia
w orangnya simple aja ^^