Rabu, 14 April 2010

Manga Magic Kaito diadaptasi menjadi anime spesial

0 komentar
Situs resmi majalah Weekly Shonen Sunday terbitan Shogakukan telah mengkonfirmasi bahwa saluran televisi Animax akan menayangkan sebuah anime khusus berdasarkan bab pertama manga Magic Kaito karya Aoyama Gosho di Jepang pada tanggal 17 April nanti. Anime ini merupakan anime adaptasi pertama dari manga tersebut.


Seperti yang dikutip megindo.net dari www.animenewsnetwork.com, Aoyama meluncurkan Magic Kaito pada tahun 1987, sebelum ia menciptakan manga Detektif Conan [Case Closed] yang lebih terkenal. Magic Kaito mengisahkan seorang pesulap muda bernama Kaito Kuroba [Kappei Yamaguchi] yang mengikuti jejak mendiang ayahnya sebagai pencuri legendaris Kaito Kid. Karakter Magic Kaito akan muncul dalam film ke-14 Detektif Conan, Detective Conan: The Lost Ship in The Sky, pada tanggal 17 April juga.



Toshiki Hirano [Magic Knight Rayearth, Vampire Princess Miyu] akan menyutradarai anime Magic Kaito di TMS Entertainment [Tokyo Movie], studio di belakang waralaba anime Detektif Conan. [Asun/Megindo.net]

© Gosho Aoyama/Shogakukan, Magic Kaito Production Committee

-----------------------------------------------------------------------------------

kita lihat aja nanti di

Jumat, 15 Januari 2010

sasuke lover organization

0 komentar
suka sama sasuke dalam anime naruto ? mari kita gabung dan tukar informasi bersama

Sasuke Lovers Oganization

grubnya masih sedikit .. tapi gak papa kan namanya juga masih baru ^^

Naruto 478

2 komentar
naruto chapter 478 uda terbit di internet ^^ nah untuk melihat naruto 478 bahasa indonesia silahkan kungjungi bacamangga.com



dalam naruto 478 ada dewa izanagi .. nah dewa inazagi itu apa ya ? klik di sini untuk liat dewa" di naruto

soal dewa inazagi aku post di sini aja deh ^^ gak papa kan .. oke mari kita membaca ..

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam mitologi Jepang, 2 dewa-dewi Izanagi dan Izanami merupakan pencipta Jepang dan dewa-dewi lainnya. Jadi, merekalah asal usul dari segala sesuatu yang ada di Jepang. Di sebuah mitologi penting di Jepang, diceritakan mereka turun ke Yomitsu Kuni, dunia bawah atau disebut juga dunia kegelapan. Cerita tentang Izanagi dan Izanami diceritakan dalam 2 karya: Kojiki (catatan kuno) dan Nihongi (sejarah Jepang).



izanagi_izanami



Menurut legenda, setelah kemunculan mereka, Izanagi dan Izanami berdiri di jembatan yang melayang ke surga dan meributkan laut dengan tombak berhiaskan berlian. Ketika mereka mengangkat tombaknya, butiran-butiran air kembali menjadi air dan membentuk tanah pertama, pulau yang disebut Onogoro. Izanagi dan Izanami turun ke pulau tersebut dan menjadi suami-istri. Anak pertama mereka cacat, dan dewa-dewi lain berkata kalau itu terjadi karena Izanami berbicara dahulu sebelum suaminya saat acara pernikahannya (semacam tradisi Jepang).

Pasangan tersebut kemudian menikah kembali. Izanami melahirkan 8 anak, yang kemudian menjadi pulau-pulau di Jepang. Izanagi dan Izanami juga menciptakan banyak dewa dewi yang melambangkan gunung, lembah, air terjun, sungai, angin, dan kenampakan alam lainnya. Tetapi saat kelahiran Kagutsuchi, sang dewa api, Izanami terbakar.

Ketika Izanami meninggal, Izanami pergi ke Yomitsu Kuni. Izanagi memutuskan untuk turun ke Yomitsu Kuni dan menyelamatkan belahan jiwanya dari dunia kematian tersebut. Ketika mendekati gerbang Yomi, Izanami menyambut Izanagi dari bayang-bayang. Izanami memperingatkan agar Izanagi tidak melihat dirinya dan berkata bahwa ia akan merencanakan pelariannya dari Yomi (dewa Yomitsu Kuni). Karena sangat merindukan istrinya, Izanagi menyalakan obor untuk mencari Yomi, tetapi ia sangat kaget ketika melihat bahwa Izanami sudah menjadi mayat busuk. Tak tahan melihatnya, Izanagi kabur.

Izanami marah, lalu ia mengirim setan-setan wanita, 8 dewa petir, dan sepasukan tentara menakutkan untuk mengejar Izanagi. Izanagi berusaha keluar dan memblokir jalan antara Yomi dan tanah kehidupan dengan batu besar. Izanagi dan Izanami bertemu di sana dan mereka bercerai.

Izanagi merasa dirinya tidak suci setelah berkontak dengan dunia kematian. Karena itu, dia mandi utnuk menyucikan dirinya kembali. Sejumlah dewa-dewi, baik jahat maupun baik, muncul dari pakaian yang dibuang oleh Izanagi. Dewi matahari Amaterasu muncul dari mata kirinya, dewa bulan Tsukiyomi dari mata kanannya, dan Susano-o dari hidungnya. Lalu, Izanagi membagikan kerajaannya kepada 3 anak kebanggaannya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

nah jangan lupa komentarnya ^^

Kamis, 14 Januari 2010

The Tear Matt

0 komentar

~England, Whammy House.~

Lawliet memutar kepalanya ke belakang, dia melihat Roger menghela nafas berat sambil merebahkan tubuhnya di kursi kerjanya. Lawliet yang sedang duduk di sofa menjadi penasaran melihat Roger, karena Roger tak pernah terlihat se-depressi itu sebelumnya.

“Roger.” Lawliet turun dari atas sofa empuk berwarna merah, meninggalkan sekantong marshmellow rasa vanilla di sana. “Apakah ada masalah dengan anak-anak?”

“Ah...ya begitulah, Lawliet...” Roger tak dapat menyangkal intuisi Lawliet yang selalu tepat pada sasaran. Lelaki tua itu menaruh kedua tangannya di atas meja, dan mulai mengambil lembaran-lembaran kertas yang tertumpuk di atasnya. “Ini mengenai Matt...”

“Matt-kun?” Lawliet memiringkan kepalanya. anak yang di maksudkan oleh Roger ternyata adalah Matt, calon penerusnya yang berada di jalur ketiga... “Ada apa dengan Matt-kun?”

“Akhir-akhir ini dia menutup diri, dia selalu bolos dari kelas-kelas-nya dan pergi entah kemana. Kemarin para guru menemukannya di gudang, sedang menangis sendirian...” Ucap Roger dengan nada prihatin.

“Setahuku Matt-kun tidak seperti itu...” raut wajah Lawliet terlihat sendu mendengar keadaan anak didiknya seperti itu. “Apakah dia memiliki masalah?”

“Ah, aku sudah bertanya kepada Mello, teman sekamarnya...” Roger perlahan-lahan bangkit dari kursinya untuk menaruh lembaran-lembaran kertas yang tadi sudah dia susun kedalam buku binder berwarna hitam. “Tapi dia tak mengetahui apa-apa, dia juga khawatir soal Matt, karena Matt mendadak jadi pendiam sekali.”

Lawliet memasukan kedua tangannya kedalam kantong celana jeansnya, itu tandanya kalau dia sedang berfikir keras. Nampaknya ada yang salah dengan anak didiknya itu, dan dia sendiri yang akan mencari apa masalahnya.

“Kurasa...aku akan berbicara dengan Matt-kun.”

-------------------------------------------------------------------------------------------

Lawliet berjalan di lorong sepi gedung Whammy. Wajar saja kalau sepi, karena pada saat itu seluruh anak-anak sedang menghadiri kelasnya masing-masing. Tadi dia sempat bertanya kepada guru sejarah tentang keberadaan Matt, kelas yang seharusnya Matt masuki pada saat itu. Namun sayangnya sang guru tak tahu tentang keberadaan Matt.

Roger berkata kalau para guru menemukannya di dalam gudang kemarin. Mungkin saja dia pergi ketempat yang sama, Lawliet sih berharap seperti itu.

Krek...

Suara pintu reyot gudang terbuka, debu-debu kecil yang berterbangan di udara langsung menyambut Lawliet. Lawliet sempat terbatuk-batuk, namun hal itu tak menghentikan langkahnya untuk masuk lebih dalam lagi.

Gudang ini jarang sekali di gunakan apalagi di buka. Karena ini adalah tempat untuk menyimpan barang-barang usang yang sudah tak bisa di pakai lagi di Whammy’s. Di dalamnya banyak tumpukan kardus-kardus besar, kursi dan meja yang sudah rusak, sarang laba-laba dimana-mana, dan debu setebal kaca jendela.

Di dalam kegelapan ruangan, Lawliet mendengar isakan tangis anak kecil. Dia sudah bisa menduga siapakah anak kecil itu, tentu saja itu adalah Matt.

Lawliet menemukan Matt duduk bersenderkan kardus besar, kedua kakinya di tekuk ke dada dan dia menangis sambil membenamkan wajahnya di antara kakinya.

Matt merasakan ada kehadiran seseorang, maka dia mengangkat wajahnya untuk melihat siapakah itu. Dan terkejut ketika matanya menangkap sosok Lawliet sedang berdiri di depannya.

“L...L-sama!” sahut Matt, dia sungguh tak menyangka kalau Lawliet yang akan menemukannya di sini. Dia buru-buru menghapus air matanya menggunakan lengan baju stripes hitam-putihnya. “A-apa...apa yang anda lakukan disini!?”

Lawliet tersenyum, dia duduk berjongkok di depan Matt, dan mulai menepuk-nepuk kepalanya dengan lembut. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, apa yang sedang kau lakukan disini?”

Matt menelan ludah, wajahnya memerah hingga ke ujung kupingnya. Dia merasa malu karena Lawliet yang dia kagumi telah melihatnya menangis menyedihkan seperti ini.

“Jawab aku...Matt-kun.” senyuman Lawliet tak luntur walaupun kini raut wajahnya berubah menjadi serius. “Mengapa kamu menjadi seperti ini? aku kenal kamu dengan baik, Matt-kun... dan aku tahu kamu bukanlah anak yang gampang menangis seperti ini.”

“Aku....aku....” Matt kehilangan kata-katanya, dia tak tahu harus menjawab apa.... “Aku...hanya....”

“Hanya apa, Matt-kun?” Tanya Lawliet. “Tak apa, katakan saja kepadaku...” dia berusaha meyakinkan Matt untuk tak takut berbicara kepadanya.

“L...L-sama...mengapa...mengapa semua orang pergi meninggalkanku...?”

-------------------------------------------------------------------------------------------

“Apa?” Lawliet di kejutkan dengan perkataan Matt, butuh beberapa menit baginya untuk menangkap apa yang di maksudkan oleh Matt.

Matt mulai terisak kembali, mata besarnya yang berwarna hijau terang kembali tergenang dengan air mata. “Semua yang aku cintai pergi begitu saja...aku...aku hanya bisa menatap semua yang aku sayangi di ambil secara paksa tanpa bisa melakukan apapun! Apakah aku memang di takdirkan untuk sendirian, L-sama??”

Bocah kecil itu menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Dia tak ingin Lawliet melihatnya menangis lebih dari ini, sungguh dia tak ingin....

Lawliet memilih untuk diam saja dan membiarkan Matt untuk terus berbicara sampai dia puas.... dia tahu riwayat hidup Matt, hingga ke detail-detailnya. Matt masuk ke Whammy’s pada umur 3 tahun, saat itu Watari lah yang menemukannya sedang berjalan tanpa arah di depan pintu gerbang...

Tak ada tanda pengenal maupun orang yang mengaku sebagai orang tuanya, Matt kecil di buang begitu saja kejalanan tanpa membawa apapun. Harta yang dia miliki saat itu hanyalah baju usang yang menempel di tubuhnya.

Lawliet melihat potensi besar di dalam diri Matt. Sama seperti Mello, dan Near... dia pintar, dia mampu memecahkan masalah, Logika nya berjalan, dan dia tak mudah terhasut dengan omongan orang.

Tapi Lawliet sebenarnya tahu... kalau Matt hanyalah berpura-pura saja. Mungkin semua orang dan anak-anak di Whammy’s melihatnya sebagai sosok yang ceria dan penuh perhatian, tapi Lawliet tak mudah tertipu dengan ‘topeng kobohongan’ yang di pasang olehnya.

Lawliet tahu kalau sebenarnya Matt menyimpan amarah di dalam hatinya. Bahkan hanya dari tatapan matanya saja dia sudah dapat menyimpulkannya, mata yang tajam dan memberikan sebuah perasaan aneh ketika dia sudah menetapkan ‘mangsa’nya.

Matt adalah seorang pemain drama yang sangat hebat, dia selalu menggunakan ‘topeng’ untuk menutupi segala kekurangannya. Dia tak ingin orang lain melihat ‘kecacatannya’ karena dia takut orang itu akan menggunakan kekurangannya untuk menghancurkannya.

Itulah yang membuat Matt tak bisa membuka hatinya kepada orang lain.

“...Aku...sedikit mengerti dengan posisimu sekarang ini, Matt-kun.” Lawliet dengan lembut mengambil wajah Matt menggunakan sebelah tangannya. Sementara tangannya yang satu lagi menghapus bercak air mata di pinggir mata Matt.

Matt memberikannya tatapan tak percaya, dia sudah mendengar banyak orang berkata seperti itu kepadanya. Mereka bilang mereka dapat memahami perasaanya, mereka juga turut bersedih kepadanya.... ha! Itu semua hanyalah omong kosong!

Lawliet tahu Matt tak percaya dengan perkataanya, maka diapun melanjutkannya. “Walaupun sebenarnya bohong kalau aku bilang aku mengerti bagaimana rasanya menjadi kamu. karena seseorang tak akan pernah bisa merasakan apa yang orang lain rasakan, sampai dia sendiri berada di posisi yang sama.” Ucapnya.

Kini Matt terlihat terkejut. Mulutnya sedikit ternganga, dan matanya bertemu dengan mata hitam legam milik Lawliet. Lawliet sama sekali tak mencoba untuk membohonginya... justeru...dia mengaku kalau tadi dia berbohong...

“Aku hanya bisa menyemangatimu dan berusaha untuk membuatmu tersenyum lagi tanpa dapat memahami perasaanmu yang sesungguhnya...” kemudian Lawliet mengengam kedua tangan kecil Matt yang basah terkena air mata. “Jadi...tolong tersenyumlah kembali, lakukan hanya untukku...”

Keadaan menjadi sunyi sebentar setelah itu.

Pinggir bibir Matt perlahan-lahan tertarik, membentuk sebuah senyuman kecil. Pipinya merah karena menahan isakan tangis yang mau membeludak, dia merasa begitu bahagia... karena...baru pertama kalinya ada orang yang memintanya untuk tak menangis dan bersedih...

Lawliet ikut tersenyum melihat Matt, “Jangan bersedih lagi...oke? ayo sekarang kita pergi keluar dari sini...” Lawliet perlahan-lahan mengangkat badannya, menarik tangan kecil Matt untuk ikut berdiri juga.

Mereka berdua berjalan menuju pintu keluar, masih saling bergandengan tangan. Matt kecil mengadahkan kepalanya ke atas, melihat sosok Lawliet yang sangat tinggi dari dirinya.

Seseorang tak akan mungkin bisa merasakan apa yang orang lain rasakan kecuali dia berada di dalam posisi yang sama seperti orang itu, namun rasa pengertian dan rasa sayang membuat mereka dapat mengerti perasaan masing-masing.

Matt memegang dengan erat tangan besar Lawliet, dia memejamkan matanya...dan mengumamkan sesuatu dengan sangat pelan sekali....

“Terima kasih...”

(Fin)

Ingatan Near

0 komentar

Dia masih menghening. Tak berkutik. Seakan dunia menghukumnya. Masih menikmati wewangian darah segar yang menyeruak di ruangan itu.

Untuk apa dia menangis?

Untuk apa dia bersedih?

Apakah dengan begitu, akan membuat mereka kembali?

Kembali memeluknya...

Kembali menyayanginya...

Kembali ada untuknya...

Percuma baginya menangis. Mereka pun tak akan kembali. Dia hanya merasa ketakutan. Bergidik ngeri. Tak menyangka baginya. Ini seperti mimpi. Terlalu kejam baginya. Dia hanya bersembunyi dibalik almari ebony. Meski begitu, wewangian amis itu masih menyeruak. Ke indra penciumannya.

“Kumohon! Buka! Aku tahu ada orang di dalam! Cepat buka!”

Si rambut putih itu hanya terdiam. Mendekap boneka beruangnya erat. Merasa sesuatu menghantuinya.

Dia mendengar satu orang lagi.

“Dobrak saja. Tak ada cara lain selain itu.”

Dia semakin ketakutan. Tak berharap bahwa semua kembali.

Hanya berharap...

Dia bisa terbebas dari ketakutannya.

Dari wewangian yang menusuk penciumannya.

Dari apapun yang mengancamnya.

Dari sesuatu... yang dapat membuatnya tergeletak tak bernyawa di tempatnya.

B R A A A A A K!!!

Pintu itu terbuka. Si rambut putih itu meringkuk ketakutan. Boneka beruang itu ia dekap seerat mungkin.

“Apa ini? Pembantaian?” Seru seorang lelaki itu dingin. Suara tua menyambutnya. “Sepertinya begitu... keluarga River memang dibantai. Apa tindakan selanjutnya?”

Si rambut putih itu meringkuk. Dia... meneteskan air mata pertamanya. Meski sebenarnya ia tak mau, tetapi bulir hangat itu memaksanya.

“Cari orang yang selamat. Aku pikir ada orang yang selamat disini.”

Semua mengobrak-abrik rumah itu. Tak ada yang hidup disana. Sampai si bungkuk itu membuka almari ebony.

“?”

Si bungkuk itu membawa rambut putih itu keluar dengan boneka teddy kesayangannya.

“Aku temukan satu.” Ucap si bungkuk itu dingin. Anak bermbut putih itu menghening. Tubuhnya dingin. Ketakutan menyelimutinya.

“Watari? Kau temukan lagi?”

Laki-laki tua itu hanya menggeleng pelan.

“Baiklah... kita bawa saja anak ini ke tempatmu.”

Lelaki tua yang satu lagi muncul.

“Wammy House?”

Lelaki muda hanya mengangguk.

“Apa kau keberatan Roger?” Roger menggeleng. “Keputusan L. adalah keputusan yang terbaik.” L mengalihkan pandangannya langsung ke Roger. “Sekalipun keputusanku membuat kesalahan besar?” Roger terdiam. L memang selalu menyudutkannya.

L membawa nya ke tempat yang megah. Anak berambut putih itu memilin rambut putih ikalnya. Menatap kagum pada tempat itu. “Roger... ku titipkan anak ini padamu. Jangan biarkan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Berjanjilah padaku.” Anak berambut putih itu merasa cocok dengan tempatnya ia senang dengan tempat itu. Satu hal lagi yang membuat dia senang adalah lelaki bungkuk di hadapannya. Dia terus menatapnya dengan perasaan kagum.

“Aku berjanji L.”

L mengangguk pelan. “Saatnya kita pergi Watari...” anak berambut putih itu berhenti menatap kagum. Dia justru merasa cemas. Selangkah lagi L keluar dari ruangan itu, anak rambut putih memeluk kakinya. Mendekapnya erat.

“?!” L merasa terkejut. Anak itu menangis di kakinya.

Dalam hatinya ia berkata...

kumohon... tinggalah disini...’

L tersenyum lembut menatapnya dengan tatapan lembut. Berjongkok dihadapnnya. Tingginya kini menjadi sama.

“Siapa namamu?” Anak itu menjawabnya dengan sedikit tangsian. “Nate... River...”

L hanya menepuk kepalanya perlahan. Mengusapnya dengan lembut. “Kupanggil kau Near... kau akan selalu dekat dengan orang-orang yang membutuhkanmu.” Near hanya diam. Memberinya pelukan. Berbisik lembut padanya. “jangan... pergi...” L tersentuh padanya. Jarang sekali ia menemukan anak seperti ini.

“Hei... Jadilah yang terbaik... maka, aku akan kembali kemari.”

Near kembali menghening. Dan mengangguk pelan.

“aku akan menjadi yang terbaik.... aku, akan berusaha...”

L memberikan senyuman terbaik padanya. “sekarang, izinkan kami pergi.” Near hanya diam. “tetapi berjanjilah kau akan kemari, apabila aku menjadi yang terbaik.” L hanya menjawab satu kalimat yang membuatnya tersenyum tulus.

Aku berjanji...’

Mereka pun pergi. Near menatapnya perih dari jendela dingin. Tentu... ini tanggal 3 December. Musim salju sudah menyambut United Kingdom saat ini.

Roger membawanya ke suatu tempat. 2 anak menunggunya disana. Si rambut merah seakan tak peduli. Dia hanya terus bermain game yang ada di genggamannya. Sedangkan si rambut kuning hanya mengunyah coklatnya dan menatapnya heran. Menatap Near penuh keheranan. Rambut kuning itu melirik Near penuh. Dari bawah kakinya hingga pucuk rambut putihnya. Dia menatapnya detail sambil mengunyah terus coklat nya.

“Ini kamarmu Near. Disini kau bersama dengan kedua temanmu. Dia Matt dan Mello.” Matt menoleh sedikit pada Near. Mello hanya memandangnya.

“Apa tadi L kemari, Roger?” Mello tak menanyakan Near. Dia hanya peduli pada L. Roger mengangguk. “mengapa kau tak memberi tahuku?! Aku menunggunya selama 2 tahun! Mengapa kau seperti ini ROGER?!?!” Roger hanya menutup pintu kamar itu perlahan. Tak peduli pada Mello.

B U A A G H! ! ! !

“PERSETAN DENGANMU TUA BANGKA!!”

Seru Mello dengan tendangan kaki di pintu kamar. Near menatapnya. Matt hanya terdiam melanjutkan permainan yang tertunda. Mello menyudutkan dirinya berteriak. Menangis sesaat.

L... kau membenciku? Kau ingin menghukumku?’

Batin Mello dalam hati kecilnya. Near terus memandangnya. Penuh keheranan.

AKU MEMBENCIMU L!!!! AKAN KUBUNUH KAU!!!”

Mello berteriak sekuat tenaganya. Kali ini Matt bertindak. “Aku tahu kau ingin bertemu dengannya... tetapi bagaimana dengan masalah KI—”

CUKUP! AKU TAK MAU APAPUN ALASAN DARIMU! AKU HANYA INGIN ALASAN DARI L!!!!

Matt tak diizinkan berbicara. Bahkan katanya terpotong karena Mello. Matt membenci perlakuan seperti itu padanya. Dia geram pada lelaki di depannya. Dia lemparkan permainan di tangannya. Mengepal tangannya sekuat tenaganya.

Dia menarik kerah baju Mello. Dengan perlakuan Matt, Mello kini hanya terpojok.

B D A A A G H! ! ! ! !

Matt menonjok Mello hingga darah segar mengalir dari bibir tipis Mello.

“KAU PIKIR HANYA KAU YANG INGIN BERTEMU DENGAN L?!?!?!KAU PIKIR HANYA DIRIMU HAH?!?! K A U S A L A H!!!

Mello menghapus darah yang keluar dari sudut bibirnya. Matt terus mengepal tangannya. Near masih terdiam.

“Aku... juga...”

Matt menghening sesaat. Meneteskan air matanya yang hangat. Mello dapat dipastikan merasa menyesal saat ini. Near masih menatap kosong pada mereka.

“....I N G I N B E R T E M U D E N G A N N Y A B O D O H!!!!!!!

Matt menangis. Mengepal tangannya hingga darah mengucur dari tangan mungilnya. Mello merasa menyesal.

Mello berusaha bangkit untuk meminta maaf pada Matt. Namun di saat Mello berhasil berdiri sempurna, Matt pergi. Membuka pintu kamar itu dan mengucapkan sesuatu pada Mello.

Aku membenci segalanya darimu...’

Matt menutup pintu itu dengan kasar. Dan hentakan kakinya terdengar semakin menghilang... dan menghilang. Mello tertunduk. Merasakan penyesalan yang dalam pada hatinya. Dia menggigit bagian bawah bibirnya.

“Kesalahanku...”

Desisnya...

“Aku terlalu sering membentaknya...”

Dia mengakuinya...

“Aku... bodoh...”

Dia terdiam menghening.

“Cih!”

Mello menyusulnya. Menyusul Matt yang tengah dilanda emosi padanya. Mello sadar dia bersalah. Dia harus membayar kesalahnnya lebih dari sekedar permintaan maaf.

Pintu kamar itu Mello buka tanpa ditutup kembali.

Near hanya dapat melihatnya berlari...

Jauh...

Semakin jauh...

Hingga menghilang dari pantulan matanya.

Near sadar... dia hanya sendiri. Mendekap boneka teddy itu erat. Menyadari hanya boneka itu yang setia padanya. Bahkan mungkin L belum tentu akan setia dengan janjinya. Near sadar dia tak punya siapapun...

Siapapun yang peduli padanya...

Menyayanginya...

Memberinya kasih dan sayang secara tulus.

Near tahu... dia memang ditakdirkan untuk sendiri... sendiri... kesepian... memakan rasa sunyi yang ada disekitarnya...

“Matt... Mello...”

Near kembali terdiam. Memeluk boneka teddy itu di dadanya. Di otaknya hanya ada tekad untuk mewujudkan sesuatu.

“Aku akan membuat impian kalian terwujud.”

Tangannya mengepal. Matanya menerawang ke jendela bening itu. Meyentuh kaca itu. Membuat embun di kaca itu. Dan masih menerawang ke luar. Melirik salju turun dengan gemerlap surga. Memejamkan matanya dan membukanya kembali.

“Janjiku...”

Near kembali terdiam. Menerawang kembali ke jendela itu. menikmati salju yang turun dengan gemulainya. Perlahan menyelimuti Wammy House. Menyentuhkan keningnya ke jendela itu. memikirkan perkataan L padanya. Lebih tepat nya...

Janjinya.

‘...Jadilah yang terbaik... maka, aku akan kembali kemari...’

Near kini memandang kosong ke jendela itu. keningnya masih tertempel di jendela dingin itu. menghembuskan nafas cepatnya. Menyentuh jendela itu dengan jari lentiknya.

“L... tepatilah janjimu padaku... demi mereka...”

Near kembali terdiam.

Janji dan Janji...

Tepatilah...

Demi mereka...

Demi mereka yang kusayangi,

Seperti pula aku menyayangimu.

Jangan buat aku meneteskan kembali kepedihan itu.

Hanya...

Tepatilah...

Janji suci yang kau buat untuk kau tepati.

Tepatilah...

Dan aku akan selalu menyayangimu.

Selasa, 12 Januari 2010

A Man In The White Shirt

1 komentar

London, 04:00 PM

Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun tengah mendongak. Anak itu berdiri di tepi jalan, yang berada di depan sebuah toko jahit ternama di pusat kota. Suasana di tempat itu sepi. Tak ada seorangpun yang berada di jalan itu, kecuali anak tersebut. Tatapan anak itu terkunci pada sebuah benda yang tengah melayang-layang di atas sebuah pohon tinggi yang berada tepat di depan toko, yang jika benangnya tidak terselip di antara rantingnya yang kokoh, akan terbang menjumpai angkasa luas.

“Sedang apa?”

Anak itu menoleh ke arah datangnya suara asing yang tiba-tiba muncul. Hanya ada satu kata untuk mendeskripsikan suaranya; nyaman. Suara bariton yang datar namun hangat.

Anak berambut pirang gelap itu menatap sesosok pemuda yang sedikit bungkuk tengah berdiri di belakangnya. Tubuhnya tinggi, kulitnya pucat dan rambutnya hitam legam. Pemuda itu terlihat sangat asing. Selain dari wajahnya yang terlihat seperti perpaduan Asia dan Eropa, ia juga terlihat sangat sederhana. Bahkan bagi pandangan seorang anak 7 tahun. Namun entah kenapa pemuda itu memiliki kharisma yang sangat tinggi dibalik kesederhanaannya itu. Ia terlihat seperti sebuah permata, bahkan pada pandangan pertama.

Sejenak anak itu hanya memandangi wajah pemuda asing tersebut dengan intens, sebelum ia memalingkan pandangannya ke atas pohon di sampingnya.

Mengikuti pandangan anak itu, pemuda asing itu menangkap siluet sebuah balon yang tengah melayang-layang di atas pohon di sampingnya. Sesaat ia seperti sedang berpikir, sebelum kemudian dengan perlahan menggerakkan jempolnya ke sela mulutnya yang ramping.

Kemudian tanpa peringatan dan aba-aba, sesuatu yang fantastis terjadi.

Dengan gerakan yang mengagumkan , pemuda itu melangkah ke depan pohon di depannya dan seketika melakukan gerakan yang tak dapat dipercaya.

Melakukan salto sempurna seraya memanjat pohon rimbun yang tinggi itu, pemuda itu bagai sebuah bayangan.

Si anak tak dapat memastikan kapan tepatnya pemuda asing itu telah turun dari pohon, karena tiba-tiba ia sudah berada tepat di hadapannya sambil menggenggam sebuah balon berwarna merah yang bergambar lambang Kerajaan Inggris.

Pemuda itu kemudian menyerahkannya kepada anak yang kini tertegun menatapnya.

“Jangan dilepaskan lagi ya… jagalah, kau masih memiliki kewarganegaraan yang cukup pantas untuk menjaga lambang ini, tidak sepertiku…”

Setelah menyerahkan balon itu, pemuda itu berbalik dan berjalan.

Anak itu masih memandangi pemuda itu hingga menghilang di balik tikungan.

Langkahnya aneh, namun berwibawa…

“Atherton…” seorang wanita cantik berusia sekitar 30-an muncul dari dalam toko. Wajahnya seketika menampakkan ekspresi terkejut saat menatap sesuatu dalam genggaman si anak.

“Ibu…”

“Bukankah benda itu tadi telah terbang? Bagaimana…” kata-kata wanita itu terhenti.

“Seseorang… telah mengambilkannya untukku…”

“Siapa…?”

“Seseorang… pemuda yang berkaos putih…”


Devon, 02:00 PM

Gadis kecil itu tengah menunduk. Ia terduduk di tepi sebuah danau. Sebuah ek yang rimbun menaunginya di sebelahnya.

Rambut coklatnya yang panjang menjuntai menutupi wajahnya.

Angin berhembus lembut membelai helaian rambutnya. Sebuah isak kecil terdengar di sela-sela angin yang berhembus nyaman.

Gadis itu meremas sesuatu di tangan kanannya. Sebuah kertas berukuran sedang yang sebelumnya utuh, kini telah terbelah menjadi dua bagian.

Sebuah gerakan membelah rerumputan. Langkah kaki yang ringan membelai helaian rerumputan lembut.

Seseorang telah berdiri di belakang sang gadis.

Menyadari seseorang menyentuh tangan kanannya, gadis itu menoleh kaget. Iapun mendapatkan seorang pemuda asing tengah berlutut di sampingnya. Seorang pemuda berkulit pucat, rambut dan matanya sehitam malam. Ia begitu sederhana. Sebuah kaos putih bersih dan jeans biru terang membungkus tubuh kurusnya yang jangkung. Saat menatap wajahnya, gadis itu tiba-tiba merasa sangat tentram. Ada semacam kenyamanan yang terpancar dari matanya yang lebar.

Semacam perasaan yang aman menyeruak masuk ke dalam hati si gadis, membuat jemari kanannya melepaskan kertas lusuh dalam genggamannya perlahan-lahan.

Pemuda asing itu meluruskan kertas lusuh itu dengan lembut dengan tangannya. Iapun menyatukan dua bagiannya sehingga sebuah gambar yang cukup indah terpampang di atas kertas tersebut.

Seorang wanita yang sedang berdekapan dengan seorang pria. Sungguh sebuah gambar yang bagus bahkan untuk seorang gadis 12 tahun. Gadis ini pastinya seorang seniman yang hebat.

Namun kini gambar itu terbelah dua di tengahnya.

“Mereka tidak ingin aku menang…” suara gadis itu serak.

Pria asing itu menatap wajah si gadis yang dipenuhi air mata.

“Kenapa?”

“Karena aku berbohong…” gadis itu tertunduk.

“Berbohong?”

“Ya… aku… tidak menggambar sesuai dengan kenyataan… orangtuaku… mereka sudah tidak bersama lagi… jadi, mereka bilang bahwa gambarku tidak benar.… mereka tidak suka… padahal… padahal…“

Pemuda itu menjamah wajah si gadis lembut. Ia menghapus air mata yang mengalir dari matanya yang sembab.

“Ijinkan aku memperbaikinya…” pemuda asing itu mengucapkan sebuah janji.

Gadis itu menatap pemuda di hadapannya dengan penuh keheranan.

“Tapi…”

“Aku berjanji…” pemuda itu bangkit berdiri.

“Besok, persis waktu seperti ini datanglah ke tempat ini.”

Keesokan harinya.

Gadis itu tengah menunggu di bawah ek sambil menatap danau yang tenang, saat pemuda asing itu datang mendekat.

Si gadis terkejut saat menerima sebuah kertas yang tak bercacat dari tangan si pemuda.

Saat membukanya si gadis lebih terkejut lagi. Ia seakan tidak percaya.

Gambar yang ada di dalamnya sama persis dengan apa yang ia sendiri gambar. Persis sedetil-detilnya. Namun yang membuatnya terkejut dan merasa tak percaya adalah kertas tersebut sangat bersih. Tak ada kerutan atau sesuatu yang lusuh apalagi sebuah robekan!

Padahal ia tahu bahwa gambar kemarin telah robek. Lusuh dan berkerut.

Gadis itu menoleh ke arah si pemuda. Sebuah senyum yang menawan tampak menghiasi wajah pemuda asing tersebut.

Gadis itu sesaat terpaku melihatnya. Sungguh ia seperti melihat seorang malaikat berdiri di hadapannya.

Pemuda di depannya ini memanglah seorang malaikat. Karena ia telah memperbaiki gambarnya yang terbelah dua kemarin.

Gadis itu tersenyum. Kini tak ada lagi jejak kesedihan di wajahnya.

“Terima kasih…” ucap gadis itu tulus.

“Jagalah… mungkin orangtuamu telah berpisah, tapi mereka akan selalu ada dalam hatimu… sama seperti aku…”

“Orangtua anda juga telah berpisah?” tanya gadis itu polos.

Pemuda itu tersenyum lembut sebelum menjawab dengan suara beningnya.

“Mereka telah berada di surga…”

“Ibu… lihat ini…”

“Apa… bagaimana… kau menggambarnya ulang, sayang?”

Wanita paruh baya yang cantik itu tak dapat menyembunyikan keheranannya.

“Tidak, tapi seorang pemuda memperbaikinya untukku…” gadis itu tersenyum ceria.

“Seorang pria?...”

“Eh, bukan, aku tidak tau apakah dia seorang malaikat atau seorang bangsawan…”

“Apa maksudmu, sayang?”

“Habis, wajahnya seperti seorang malaikat, dan penampilannya, walaupun sangat sederhana tapi bagiku terlihat seperti seorang bangsawan…”

“Benarkah?”

“Ya! Seorang malaikat dalam pakaian putih polos… yang menyamar menjadi seorang bangsawan yang sederhana. Sebab seorang bangsawan tidak dinilai dari pakaian yang dikenakan, tapi sebuah kharisma yang keluar dari dirinya.”

“Ah, berarti kau telah bertemu dengan malaikat, ya…”

Gadis itu mengangguk antusias.

“Aku berharap dapat bertemu lagi dengannya.”


Torquay, 23:00 PM

Pria itu berusia sekitar 30 tahun. Berdiri di belakang pagar pengaman, di hadapannya adalah hamparan sungai yang deras.

Tatapannya kosong dan wajahnya tanpa ekspresi.

Keadaan sekitarnya sunyi. Ia hanya ditemani lampu jalan yang temaram dan udara malam yang berdesir di tengkuknya.

Seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya.

Pria itu menoleh. Tepat disisi kanannya ia melihat seorang pemuda berkulit pucat bertengger di pagar pengaman.

Pemuda itu jangkung, pakaian yang dikenakannya sangat sederhana. Rambutnya berbaur dengan udara malam yang pucat.

Sesaat pria itu menatap wajah pemuda asing di sebelahnya.

“Insomnia juga?” tiba-tiba pemuda itu bertanya.

Pria itu tak menjawab. Ia kembali menatap langit di sebrang sungai yang jauh.

“Bukan insomnia kalau beitu… ya kan?” pemuda itu kini menoleh, menatap pria berwajah sendu itu.

“Bukan…” jawab pria itu lemah.

“Silahkan kalau kau mau melakukannya… asal…”

“Asal…?” tanya pria itu menantang.

Pemuda asing itu menatap pria itu lurus di matanya.

“Asal kau tidak melakukannya di hadapanku…”

Pria itu mengerutkan dahi. Wajahnya seketika mengeras. Ia tampak marah.

“Bukan urusanmu!” katanya kasar.

Pemuda itu hanya menoleh dan kembali memandang langit.

Melihat itu, si pria langsung beranjak dan pergi dari tempat itu.

Langkahnya cepat. Ia berbelok di tikungan pertama. Saat menoleh kebelakang, ia terkejut saat mendapati pemuda tadi berada di belakangnya.

Terpana, pria itu kembali berjalan dengan cepat, malah hampir berlari.

Langkah-langkahnya bergema dalam malam yang berdengung di sekitarnya. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa ketakutan.

Ia menoleh lagi setelah berlari cukup jauh, dan terbelalak saat sekali lagi mendapati pemuda asing tadi masih mengikutinya.

Pria itu kini benar-benar berlari.

Ia melewati tikungan dan belokan tanpa mempedulikan arah. Yang ia pikirkan sekarang ialah ia harus lepas dari pemuda asing yang tengah mengejarnya.

Pria itu sedikit shock saat menatap jalan di depannya. Ia telah memasuki sebuah gang buntu.

Pria itu menoleh dengan panik, dan mundur saat menatap pemuda asing itu mendekatinya dari ujung masuk gang.

Pemuda itu terus berjalan, mendesaknya untuk berada pada ujung jalan yang buntu.

Pria itu menatap dengan ngeri saat pemuda itu memasukkan tangan kanannya ke saku jeansnya.

“Mau apa kau?” pria itu berseru ngeri.

Saat jarak mereka kini hanya sejauh 1 meter, pria itu menjatuhkan dirinya; berjongkok menyamping sambil menyembunyikan wajahnya dengan kedua lengannya.

Pemuda asing itu mengeluarkan tangan kanannya.

Pria itu mengangkat wajahnya, dan seraut wajah keheranan menggantikan ekspresi ketakutannya.

Pemuda pucat di depannya menyodorkan sebuah permen loli ke arah pria itu.

Pria itu menatap pemuda di hadapannya.

“Jika anda ingin melakukannya, mengapa anda takut jika saya membunuh anda?” pemuda itu bertanya.

Seketika pria itu menangis sambil menutupi wajahnya.

“Dia meninggal… karena aku…”

“Tidak benar… setiap kematian bukanlah urusan seorang manusia… itu adalah urusan Tuhan…” seraya berbicara tatapan pemuda pucat itu menerawang ke langit.

Mereka berdua kini duduk bersandar di dinding ujung gang tersebut.

Bulan makin naik, namun mereka tampaknya tak peduli.

“Apakah kau juga mempunyai seorang anak?” tanya pria itu.

Pemuda itu menatap pria di sampingnya.

“Tidak…”

Hening.

“Akulah sang anak tersebut…”

Pria itu tampak bingung akan perkataan pemuda asing itu.

“Dalam kasusku, akulah sang anak yang telah meninggal itu… dan aku tetep bersedih jika orangtuaku bertindak bodoh karena kematianku…”

Pemuda itu kemudian menatap lurus mata si pria.

“Anakmupun pasti akan bersedih jika kau melakukan hal yang bodoh…”

Pria itupun menangis sejadinya.


Exeter, 07:45 AM

Sebuah misa pagi tengah berlangsung.

Seorang suster muda tengah berjalan melalui pintu utama katedral, saat seseorang keluar dari pintu tersebut.

Dari sudut matanya, sang suster menangkap siluet seorang pemuda kurus jangkung tengah berbicara melalui telepon genggam.

Namun sedetik kemudian tatapannya terpaku pada pemuda tersebut.

Pandangan pertama yang dilihatnya adalah caranya yang unik dan aneh saat memegang telepon genggam. Kemudian setelah itu ia menatap wajahnya.

Dan ia tidak pernah melupakan pemandangan itu seumur hidupnya

Wajah itu bersinar, bukan karena kulitnya yang pucat, tapi ada semacam cahaya terpancar dari wajahnya. Walau mereka merlawanan arah, dan si pemuda tidak melihatnya secara langsung, tapi si suster tersebut dapat melihat matanya yang besar, hitam dan dalam. Rambutnya yang tergerai liar di pundaknya menegaskan sesuatu yang alami.

Namun bukan itu yang ia pikirkan.

Ia merasa bahwa Tuhan baru saja mempertemukannya dengan seorang malaikat.

Pemuda itu berjalan terus, dan si suster hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh.

Perlahan sang suster mengepalkan jemarinya. Iapun berbisik getir.

“Untuk apa aku keluar dari sini, jika Tuhan sungguh-sungguh berada di sini? Maafkan aku Tuhan…”


Manchester, 10:00 AM

Sebuah festival diadakan di sebuah gedung.

Gedung berlantai 12 itu melangsungkan sebuah acara yang bertujuan menyampaikan terima kasihnya pada karyawannya sekaligus sebagai peringatan ke-50 tahun perusahaan tersebut.

Perusahaan tersebut adalah kantor pusat dari sebuah pabrik di London yang memproduksi makanan manis terbaik di negri ini.

Festival tersebut adalah perlombaan membuat sebuah dessert. Tentulah yang manis, dan acara ini terbuka untuk umum.

Acara itu dibagi dalam 2 kategori. Kategori dewasa dan anak-anak.

Acara itu berjalan lancar. Pengunjung yang datangpun ramai.

Sedikit keributan terjadi di kubu anak-anak.

Seorang anak laki-laki tengah memandang pudingnya yang jatuh ke lantai pualam.

“Bukan salahku!” teriak anak yang lain, yang rupanya bertanggung jawab atas jatuhnya puding tersebut. Keadaan mulai ramai dan orangtua masing-masing anak telah berada di dekat mereka untuk melerai jika terjadi pertengkaran.

“Tapi, kau…”

“Tidak apa-apa…”

Seorang pemuda menghentikan pertengkaran yang hampir terjadi itu.

Sang anak pemilik puding menoleh ke samping kanannya. Dimana ia mendapati seorang pemuda jangkung kurus yang pucat menatap puding yang terjatuh tersebut.

“Jangan bertengkar, aku akan membantumu membuatnya lagi…” kata pemuda itu.

“Tapi…”

“Ayo, kita buat…” katanya setengah memaksa si anak sekaligus menarik dengan lembut lengan si anak.

Pemuda itu mengajaknya kembali ke meja untuk membuat sebuah puding.

Beberapa waktu kemudian jadilah puding yang sangat menarik dengan strawberry di atasnya.

“Euh, terima kasih… tapi… aku yakin pudingku yang tadi itu yang terbaik…” kata si anak ragu.

Pemuda itu menatap lurus ke mata si anak.

“Percayalah, puding ini akan menjadi pemenangnya…”

Sebuah jeritan menggema.

Setiap orang kemudian terlihat menyeruak keluar gedung.

Sebuah seruan-seruan terdengar dalam atmosfir yang tiba-tiba berubah tegang.

“Sebuah bom…!”

“… lantai 10…”

“… Direktur Emerson…”

“… orang itu, karyawan itu…”

“…aksi bunuh dirikah?”

“… ayo, keluar dari sini!”

Pemuda pucat itu menoleh ke arah lift.

Kemudian ia menoleh ke arah kirinya. Sebuah tangga.

Dengan gerakan yang ringan dan lincah ia melaju menaiki tangga tersebut.

“Diam…”

Sebuah langkah kaki menggema tajam.

“…semua menunduk… ayolah, Emerson! Kau tak akan miskin karena 50 juta pound! ”

Suara pintu kaca terayun.

“…kau… APA?”

Pemuda pucat itu melangkah ke dalam ruangan. Ia menatap keadaan di hadapannya.

Seorang pria paruh baya tengah mengepit seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun pada lehernya. Tangan yang satunya menggenggam sebuah silinder yang merupakan sebuah peledak.

Di ujung ruangan terdapat seorang tua yang bertubuh tinggi, dan di sampingnya berdiri 2 orang wanita dan 1 orang pria, sepertinya mereka adalah staff dilihat dari ID yang mereka kenakan.

“A… Apa? Siapa kau? Jangan mendekat!” pria paruh baya itu terkejut mendapati pemuda pucat menerobos ruangan itu. Karena menurut perkiraannya tidak mungkin dalam keadaan seperti ini seseorang mau naik ke ruangan ini, jika bukanlah seorang polisi.

Namun saat menatap pemuda kurus tersebut, pria paruh baya itu yakin bahwa pemuda itu bukanlah seorang polisi. Maka iapun menyimpulkan bahwa pemuda ini hanyalah pemuda bodoh.

“Stanley… polisi akan segera datang…” pria tua di ujung ruangan angkat bicara.

“Diam! Jika mereka naik ke sini, kau akan mati! Tentu juga anak ini!”

Terdengar sebuah erangan kesakitan dari mulut si anak.

“Sekarang serahkan padaku, orang tua tolol! Kau harus bertanggung jawab karena telah memecatku!”

“Stanley, kau memang berhak untuk dipecat…”

“DIAM!” Terdengar lagi erangan si anak.

Hening.

“Stanley… lepaskan dia… ini urusan kita berdua…”

“Tidak! Anakku meninggal karenamu! Maka kau harus merasakan penderitaanku juga!”

“Bodoh…”

Sesaat semuanya terkejut karena suara asing.

Ya, suara tersebut datang dari pemuda pucat di ambang pintu.

“Apa katamu?” seru si pria paruh baya.

“Saya peringatkan anda untuk segera melepaskan anak itu dan menonaktifkan peledak itu. Setelah itu anda boleh keluar dari sini. Aku tak akan menyerahkan anda kepada polisi…”

Si pria paruh baya itu seketika tertawa kasar.

“Aku beritahu padamu, anak muda, jika kau ingin selamat, lebih baik sekarang juga kau lari keluar dari tempat ini, sebelum kau hancur berkeping-keping…”

Pemuda itu tiba-tiba tersenyum.

“Baiklah jika begitu, aku mengerti…” pemuda itu menjawab pelan.

Sedetik kemudian adalah sebuah kejadian yang hanya bisa ditangkap oleh kamera berkualitas tinggi jika ingin mengetahui secara detail apa yang terjadi.

Pemuda pucat itu melangkah sambil mencondongkan tubuhnya ke arah si pria paruh baya, dengan gerakan yang cepat, ia melakukan sebuah tendangan menyamping memutar. Pukulan itu telak mengenai wajah si pria paruh baya.

Pria paruh baya itu spontan melepaskan si anak dalam genggamannya, dan dalam sepersekian detik, pemuda pucat itu meraih lengan kirinya, dan memukulnya keras.

Menjerit kesakitan, pria paruh baya itu tanpa sengaja melepaskan peledak dalam genggamannya.

Dengan gerakan yang gesit, pemuda pucat itu menangkap peledak itu, menyerahkannya pada pria tua di belakangnya, yang menerimanya dengan wajah terkejut sekaligus terpana.

Pemuda pucat itu kemudian memukul tengkuk si pria paruh baya hingga ia jatuh tak sadarkan diri.

Selama 7 detik penuh semua orang dalam ruangan tersebut terpana menatap pemuda pucat itu, yang tengah mengangkat dan menyandarkan si pria paruh baya di atas sofa.

Pemuda pucat itu menoleh dan mendapati semua orang tengah terpaku menatapnya.

Ia mengambil kembali peledak dalam tangan si pria tua dan hal itu rupanya seperti sebuah mantra karena berhasil membuat semua orang kembali menyadari keadaan semula.

“Anak muda, ayo kita keluar, peledak itu mungkin akan segera…” si pria tua berkata pada pemuda pucat itu.

Pemuda itu tampak sibuk mengamati sebuah deret digital dalam kepingan bundar di atas 3 buah silinder di peledak tersebut.

“Kurang dari 2 menit…”

“Kurang dari 2 menit…”

Semua langsung terdiam.

“Sepertinya Stanley hanya ingin membunuhku… ia tidak sungguh-sungguh menginginkan uangku…” pria tua itu berkata sedih.

“Dalam keadaan seperti ini pasti akan terlambat jika kita turun, walaupun menggunakan lift sekalipun.” kata pemuda asing tersebut.

“Benar sekali… lagipula tim gegana tidak akan mungkin… jadi… bagaimana…” ucap si staff pria panik.

“Berikan aku gunting…” pemuda pucat itu berseru.

Ia berlutut dan mulai mengamati kabel-kabel yang berada di silinder tersebut.

“A… apa yang mau kau lakukan? Jika salah… kita semua…”

“Aku akan menghentikan peledak ini…”

“A… apa…”

“Tak ada salahnya kan? Jika didiamkan kitapun akan tetap hancur…”

“A… apa katamu…?”

“Percayalah padaku…” pemuda itu menatap si staff tersebut intens.

Hening.

“Berikan aku gunting! Cepat!”

Pemuda pucat itu tengah mengamati setiap sambungan kabel dalam silinder peledak tersebut.

Semua orang terdiam, diantara mereka ada yang benar-benar merasa bahwa sebentar lagi mereka akan segera hancur karena kekuatan ledakan yang dahsyat.

Pria tua itu mendekap anak kecil dalam lengannya.

Angka digital dalam kepingan bundar itu menunjukkan 01:02

Pemuda itu menarik sebuah kabel berwarna merah, ia seperti tengah berpikir sejenak, sambil menempelkan jempolnya pada celah mulutnya. Gerakannya sungguh santai namun wajahnya sangat serius.

“Kumohon…”

Pemuda pucat itu mendekatkan gunting pada kabel tersebut.

00:42

Tiba-tiba ia menarik tangannya, dan tersentak.

“A… ada apa?”

“Jebakan… ternyata mekanisme peledak ini termasuk mekanisme sulit. Dua kabel disini kemungkinan adalah pemicu ledakan…“ pemuda itu mengerutkan keningnya.

00:20

Pemuda pucat itu kemudian menarik sebuah kabel hijau.

00:13

Ia sekarang mendekati gunting ke arah kabel hijau itu.

00:10

Namun secepat kilat, ia kembali menarik kabel merah yang telah dilepaskannya.

00:05

Ia mendekatkan gunting itu pada kabel tersebut.

00:04

Pemuda pucat itu menatap setiap orang satu demi satu.

00:02

Gunting itu bergerak membelah kabel ramping berwarna merah tersebut.

00:01

“Percayalah padaku…”

Sebuah suara menerobos adrenalin yang membuncah.

Semua orang menatap pemuda kurus yang tengah berlutut di tengah ruangan.

Di tangannya tergenggam sebuah peledak waktu… yang baru saja ia nonaktifkan pemicunya.

Sedetik kemudian sebuah tangis haru pecah. Sebuah dorongan adrenalin yang terdesak membuncah keluar.

Pemuda itu bangkit dan segera beranjak dari tempatnya. Seketika ia menghilang di balik pintu kaca.

Sebuah suara meneriakkan panggilan.

Sebuah langkah kaki yang tergesa menerobos ruangan, menyebrangi ruangan yang dipenuhi adrenalin yang meledak.

Wanita itu hanya sempat menangkap punggungnya yang menghilang dari tikungan tangga.

Iapun menatap penuh terima kasih pada arah menghilangnya pemuda asing tersebut.

Semenit kemudian, tim gegana dan polisi memenuhi ruangan di lantai 10 gedung tersebut.


Seorang pemuda berkulit pucat, tinggi, dan sedikit bungkuk berjalan menyusuri trotoar.

Ia berhenti di depan sebuah kafe di sisi jalan, kemudian masuk kedalamnya.

Ia menghampiri sebuah meja dimana terdapat seorang tua bertopi dan berpakaian layaknya seorang bangsawan, tengah duduk di kursinya.

“Ah, seperti sebelum-sebelumnya, kau menghilang lagi…” kata pria tua tersebut pada pemuda pucat itu.

“Kemana kau kali ini?” sambungnya.

Pemuda pucat itu tersenyum lembut.

“Tidak darimana-mana… hanya mencicipi sebuah puding dan mempelajari sebuah mekanisme terbaru…”

“Baiklah, kita pulang sekarang, Ryuuzaki?”

“Kita tidak akan pulang sebelum aku mencicipi tart di Manchester, Watari…”


Kamis, 07 Januari 2010

Abilno

0 komentar



Ciri khas orang Albino, dari bahasa Latin albus yang berarti putih (pantes aja Albus Dumbledore rambutnya putih :P) adalah hilangnya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut (atau lebih jarang hanya pada mata). Albino timbul dari perpaduan gen resesif. Ciri-ciri seorang albino adalah mempunyai kulit dan rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat dan memiliki iris merah muda atau biru dengan pupil merah. (hm.. klo org Indonesia ada yg Albino bisa dikira bule tuh.. hihi..)

Albino adalah kelainan genetik, bukan penyakit infeksi dan tidak dapat ditransmisi melalui kontak, tranfusi darah, dsb. Gen albino menyebabkan tubuh tidak dapat membuat pigmen melanin. Seseorang dapat menjadi karier dari gen albino tanpa menunjukkan fenotif tertentu, sehingga seorang anak albino dapat muncul dari orang tua yang tidak albino. (Seperti kasus Aris. Baca di: http://uang-banyak.com/blog/?p=833)

Karena penderita albino tidak mempunyai pigmen melanin (berfungsi melindungi kulit dari radiasi ultraviolet yang datang dari matahari), mereka menderita karena sengatan sinar matahari, yang bukan merupakan masalah bagi orang biasa. (Sensitif bgt kulitnya.. wah wah..)

TIPE-TIPE ALBINO
Sekitar satu dari tujuh belas ribu orang menjadi albino, walaupun 1-70 orang adalah pembawa (karier), bukan penderita.

Ada dua kategori utama dari albino pada manusia :
1.Oculocutaneous albinism (berarti albino pada mata dan kulit), kehilangan pigmen pada mata, kulit, dan rambut. (warna iris jadi pink.. kulit n rambutnya putih..)
2.Ocular albinism, hanya kehilangan pigmen pada mata. Orang-orang dengan oculocutaneous albinism bisa tidak mempunyai pigmen dimana saja sampai ke tingkat hampir normal. Orang-orang dengan ocular albinism mempunyai warna rambut dan kulit yang normal, dan banyak dari mereka mempunyai penampilan mata yang normal.

Hanya tes genetik satu-satunya cara untuk mengetahui seorang albino menderita kategori yang mana, walaupun beberapa dapat diketahui dari penampilannya.

CARA MENGOBATI

Albino adalah suatu kondisi yang tidak dapat diobati atau disembuhkan (kasian juga ya..), tetapi ada beberapa hal kecil yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidup. Yang terpenting adalah memperbaiki daya lihat, melindungi mata dari sinar terang, dan menghindari kerusakan kulit dari cahaya matahari. Kesuksesan dalam terapi tergantung pada tipe albino dan seberapa parahnya gejala.

Bantuan Daya Lihat
Kacamata dan 'bantuan daya lihat' lain dapat membantu orang albino, walaupun daya lihat mereka tidak dapat dikoreksi secara lengkap. Penderita pun dapat memakai lensa kontak berwarna untuk menghalangi tranmisi cahaya melalui iris. Beberapa menggunakan bioptik, kacamata yang mempunyai teleskop kecil di atas atau belakang lensa biasa, sehingga mereka lebih dapat melihat sekeliling dibandingkan menggunakan lensa biasa atau teleskop. Walaupun masih menjadi kontroversi, banyak ophthalmologist menyarankan penggunaan kacamata dari masa kecil sehingga mata dapat berkembang optimal. (klo dilahirkan dalam keadaan Albino.. yg sabar dan tabah ya.. :D)

Perlindungan terhadap Sinar Matahari
Penderita albino diharuskan menggunakan sunscreen ketika terkena cahaya matahari untuk melindungi kulit prematur atau kanker kulit (cukup merepotkan..). Baju penahan sinar matahari dan pakaian renang juga merupakan alternatif lain untuk melindungi kulit dari cahaya matahari yang berlebihan.
Penggunaan kacamata dan topi dapat membantu pula. Barang lain yang dapat membantu orang-orang dengan albino adalah menghindari perubahan tiba-tiba dari situasi cahaya dan menambahkan kaca penahan sinar matahari. Cahaya lebih baik tidak langsung mengenai posisi biasa dari penderita albino (seperti tempat duduk mereka pada meja makan). Jika mungkin, penderita albino lebih memilih untuk terkena cahaya di bagian punggung daripada di bagian muka.



MITOS-MITOS SALAH DALAM ALBINO
1.Orang albino itu steril, padahal tidak demikian. Fungsi reproduksi mereka tidak mengalami gangguan apapun.
2.Orang albino mempunyai umur pendek. Ini tidak benar secara umum, tetapi lebih disebabkan karena orang albino mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk menderita kanker kulit jika tidak memakai pelindung dari sinar matahari. (jgn asal ngomong ya klo blom tau kebenarannya..)
3.Hubungan seksual dengan orang albino dapat membuat pasangannya terkena penyakit. Ya enggak bener lah itu..
4.Albino adalah keturunan setan, atau karma perbuatan orang tuanya, penyakit menular, dan bahkan ada juga yang mempercayai bahwa seorang albino ini memiliki kekuatan magic, supranatural atau gaib. Jelas enggak !!

Saia bersyukur tidak dilahirkan albino.. hehe :D . Oleh karena itu, syukuri aja apa yg dikaruniakan Tuhan.. okey  .. Sekian postingan kali ini..


Rabu, 06 Januari 2010

Awal Ujian

0 komentar

Kilua.Z ( HunterxHunter)

Baru saja aku menerobos keluar rumah setelah menghajar ibu serta Miruki kala mereka berusaha mencegahku pergi. Kini aku termangu di tepi jalan berdebu sembari kebingungan kemana akan melangkah.

Langit kota yang cerah tanpa secuil awan gelap pun yang menggantung. Angin mendesau lirih menambah kesejukan musim semi dengan guguran bunga Sakura yang memerahkan sepanjang jalan.

“Ah sial!” Aku mengumpat. Harusnya aku menentukan kemana aku hendak pergi sebelum aku menerobos keluar rumah. Menyebalkan! Aku mengacak2 rambutku sendiri. Pusing!

Aku terus berjalan hingga tiba di sebuah taman kecil. Nampak anak-anak seusiaku sedang bermain panjat-panjatan, berkejar-kejaran, juga terlihat beberapa anak perempuan tengah bermain pasir. Aku menghela nafas berat.

Kuhampiri sebuah ayunan tunggal yang masih kosong dan berayun perlahan. Suara gelak tawa mereka menyakiti telingaku. Aku mengamati kedua tanganku dalam bisu. Tangan ini... entah sudah berapa banyak nyawa yang menghilang disana. Bisa kulihat jelas darah yang menetes di setiap ujung jarinya. Aku bergidik berusaha menghilangkan bayangan merah itu.

Suara gelak tawa itu kembali membahana menusuk-nusuk kepalaku... atau... mungkin lebih tepat menusuk-nusuk hatiku dan memotongnya jadi serpihan kecil yang tak berbentuk. Mereka tampak bahagia meski mereka tak punya apa-apa. Ya... tak punya apa-apa dibanding diriku yang memiliki banyak harta benda dan bisa membeli apa saja yang aku inginkan dengan mudah. Namun yang kurasa hanya hampa....

Baru kusadari ternyata aku ingin seperti anak-anak itu. Bermain bersama seorang sahabat, tertawa lepas, tanpa harus memikirkan kelemahan, celah, dan waktu untuk membunuh mereka. Teman sejati yang bisa kuajak berbagi suka juga duka. Cerita dalam tawa juga sedih. Namun aku tak bisa mendapatkan itu semua. Tidak saat ini dan mungkin juga tidak nanti. Aku kembali menarik nafas perih.

Ya... aku tak diperbolehkan memiliki teman. Karena mempercayai seseorang berarti bersikap lemah dan itu sangat berbahaya. Aku bahkan hanya boleh memikirkan bagaimana membunuh dengan cara paling cepat dan efisien. Aku menggeleng-geleng penuh keraguan.

Aku sudah muak membunuh. Bau anyir darah sudah membuatku penat. Jerit tangis korban-korbanku rasanya sudah cukup berputar di kepalaku. Aku ingin mendengar suara yang lebih cerah. Secerah siang hari ini.

Mentari siang semakin menyengat. Aku bangkit berdiri. Kulangkahkan kaki entah kemana. Namun tiba-tiba kulihat sesuatu.

“Ujian Hunter” kubaca perlahan pamflet di sebuah gedung. Wah... sepertinya menarik. Daripada aku bosan berjalan tak tentu arah, lebih baik aku mendaftar saja. Siapa tahu tidak jadi membosankan.

Aku pun melangkah masuk.

“Siapa namamu?” Panitia penerima peserta bertanya.

“Killua... Killua Zaoldyck.”

“Ini nomormu.”

Kutatap nomor dada bertuliskan angka 99 itu. Aku merasakan sesuatu hal besar akan terjadi. Entah apa. Aku hanya tersenyum dan melangkah masuk...

Aku hanya ingin sahabat dimana aku bisa tertawa dan bahagia bersama...



.

Pemilik Blog

Foto saya
jakarta selatan, jakarta, Indonesia
w orangnya simple aja ^^