Minggu, 20 Desember 2009

mengubah .blogspot.com menjadi .co.cc

2 komentar
Nah sekarang saya mau ajarin kamu-kamu semua gimana caranya merubah domain menjadi co.cc, langsung aja yak.... nih caranya :
Eits... tapi sebelum caranya bahas dulu Apa Sih www.co.cc
Situs www.co.cc adalah layanan penyedia nama domain gratisan, yang dapat anda gunakan untuk mengubah domain situs atau blog anda saat ini menjadi domain baru dengan format www.domainbaru.co.cc.
Keistimewaan nama domain gratis yang ditawarkan co.cc adalah, dia tidak sekadar menawarkan fitur URL forwarding, tetapi juga fitur untuk men-setup DNS Records, A, MX, dan CNAME Records.
Dengan domain gratis dari co.cc, URL standar blog anda di Blogger dapat anda ubah dari format standar Blogger: namablog.blogspot.com menjadi www.namablog.co.cc. Lebih ringkas dan sedap dipandang, juga dilihat dari sisi SEO (Search Engine Optimization), URL semacam itu lebih SEO-friendly, alias lebih mudah dikenali oleh mesin pencari seperti Google.
Catatan: Bagi yang punya blog yang sudah well-established (sudah lama ada dan telah terindeks dengan baik di Google) sebaiknya pikir-pikir lagi untuk mengubahnya ke Co.cc, karena akan membutuhkan waktu lama bagi blog anda untuk di-reindeks oleh Google dengan alamat baru. Memang, Blogger akan secara otomatis me-redirect alamat lama ke alamat baru anda, tetapi risiko yang dikhawatirkan adalah Google menganggap URL baru anda di Co.cc sebagai konten duplikat atau bajakan, dan dengan alasan tersebut memasukkan blog anda ke supplemental result. Jika sudah begini, jangan harap blog anda masuk di hasil pencarian utama Google.
Untuk mengubah domain standar namablog.blogspot.com menjadi www.namablog.co.cc, berikut langkah-langkah yang mesti anda lakukan:

1. Buka situs web www.co.cc

2. Cek ketersediaan domain yag anda inginkan pada search box yang tersedia

Kalo yang ingin lebih cepat cek disini aja...

3. Jika domain yang anda inginkan tersedia, register/sign up-lah terlebih dahulu sebelum anda dapat melakukan setting ini dan itu terhadap domain yang anda daftarkan. Jika domain yang anda inginkan tidak tersedia, carilah alternatif nama domain lain.

4. Setelah identitas anda terdaftar pada co.cc, kini anda dapat melakukan proses setup domain. Klik pada tab Setup --> Manage Domain.

Anda akan melihat tiga fitur pengaturan, yakni Manage DNS, Zone Record, dan URL Forwarding.

Manage DNS

Lewatkan/biarkan saja saja modus pengaturan fitur ini

Zone Record

1. Isi kolom yang tersedia dengan data-data berikut:

Host : www.domainkamu.co.cc (domain yang baru anda buat di co.cc)
- TTL : 1 D
- Type : CNAME

- Value : ghs.google.com

2. Klik "Set up"

URL Forwarding


1. Isi kolom yang tersedia dengan data-data berikut:
- Redirect to (URL) : www.namablog.blogspot.com (Isi dengan URL/alamat blog asal anda di Blogger, BUKAN URL Co.cc yang baru anda buat - kekeliruan sering terjadi di sini, yang menyebabkan blog anda malah jadi tidak dapat dibuka sama sekali)
- Page Title : Judul Blog anda
- Frame : URL Hiding
- Description: Up to you (terserah anda)
- Keyword: Up to you (terserah anda)

2. Klik "Set up"
Pengaturan di co.cc selesai. URL baru anda di co.cc membutuhkan waktu sejenak untuk mulai aktif (beberapa jam).
Kini saatnya anda mengubah pengaturan di akun Blogger anda.
1. Login ke akun Blogger anda, lalu klik Setting --> Publishing
2. Pilih (klik) Switch to: .Custom Domain
3. Klik pada Already own a domain? switch to Advanced Settings
4. Isi kolom Your Domain dengan domain baru yang anda buat di co.cc, yakni www.domainkamu.co.cc
5. Klik "Save Settings"
Anda harus menunggu proses aktivasi dari pihak co.cc sebelum dapat melihat perubahan yang terjadi pada URL blog anda. Selama menunggu proses aktivasi domain tersebut, blog anda tidak dapat diakses. Tidak lama kok. paling lama 48 jam. Ditinggal tidur saja.
Berikut adalah contoh blog eksperimental saya di Blogger yang telah mengalami pengubahan domain dari subdomain standar Blogger ke domain baru di co.cc: http://www.freeware-source.co.cc
Situs web www.co.cc

Perlu diingat, setelah mendaftarkan nama domain co.cc, sebaiknya langsung melakukan setting/pengaturan seperti di atas, karena apabila dalam tempo 48 jam (dua hari) tidak dilakukan pengaturan, maka domain baru yang anda buat di co.cc akan "hangus" (dinonaktifkan secara otomatis), dan anda mesti harus membuat/mencari lagi domain baru yang lain.

Bagaimana, mudah bukan??... jangan lupa komentarnya ya... hehe

Sekian semoga tutorial tersebut bermanfaat untuk Anda..... Salam sukses kendaga.co.cc

Selasa, 15 Desember 2009

Video L Change the world

0 komentar
Video ini adalah video L Change The World dengan sub: bahasa inggris dan di bagi menjadi 13 video silakan klik link" di bawah ini

L Change The World Part 1

L Change The World Part 2
L Change The World Part 3
L Change The World Part 4
L Change The World Part 5
L Change The World Part 6
L Change The World Part 7

L Change The World Part 8
L Change The World Part 9
L Change The World Part 10
L Change The World Part 11
L Change The World Part 12

L Change The World Part 13

Jumat, 11 Desember 2009

Beyond Birthday

0 komentar
Beyond Brithday bukanlah Lawliet



Beyond nampak bersemangat malam ini.

Pemuda itu sedikit berlompatan kecil ketika dia berjalan menuju gedung apartemen reyot yang dia tinggali di kota ini, di tangan kirinya terdapat kantong plastik berisikan sedikit belanjaan dari mini market 24 jam terdekat.

Seringai menyeramkan menghiasi wajahnya, dia terlihat seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen dari orang tuanya.

Beyond terus berjalan dengan perasaan riang, tak mengingat kalau waktu telah beranjak larut; sekarang saja sudah jam 2 pagi, dan Beyond masih menyempatkan dirinya untuk pergi ke mini market 24 jam daripada tidur, seperti orang-orang kebanyakan.

Saat sampai di gedung apartemennya, Beyond langsung masuk kedalam. Tak memusingkan soal pemandangan ‘kotor’ yang berada di depan apartemennya, seperti pemabuk yang sedang menodong pejalan kaki, sepasang kekasih bermesraan di bawah tiang pemberhentian bus, atau anak-anak muda sedang menghisap ganja sambil tertawa terbahak-bahak.

Dia mengambil langkah 1000 dalam menaiki anak tangga menuju kamarnya, kamarnya terletak di lantai paling atas; Beyond tak mau berada di lantai bawah karena berisik, lagipula yang menghuni bagian bawah kebanyakan ialah Janda-janda yang di tinggalkan suami, atau wanita simpanan bawel bersama dengan anak-anak kecil mereka yang selalu merengek.

Kehadiran mereka semua akan menganggu pekerjaannya Beyond. Maka karena itulah dia memilih kamar yang terletak paling atas, walaupun harus mengeluarkan kekuatan ekstra untuk menaiki tangga curam yang melingkari gedung itu.

Beyond sedikit melakukan pendaratan kecil tepat di atas keset pintu kamarnya, lalu mulai merogoh-rogoh kantung celana jeans kotor-nya untuk mencari kunci pintu.

Kedua bola mata merah bagaikan batu Ruby itu menyala terang di dalam kegelapan lorong. Terlihat mantap, terlihat percaya diri, tak ada sedikitpun rasa ragu tersirat dimatanya ketika dia masuk kedalam kamarnya.

Beyond tak langsung menyalakan lampu kamar, setelah mengunci kembali pintunya dan menaruh barang belanjaannya di atas meja dapur; barulah dia menyalakan lampunya.

Memperlihatkan seluruh ruangan apartemennya yang telah terlapisi dengan plastik bening. Mulai dari pojok ruangan, perabotan, bahkan hingga ke laptop dan buku-buku.

“Hallo.”

Beyond berjalan menghampiri meja besar yang berada di tengah-tengah kamarnya yang terisolasi penuh, dimana di atas meja itu ada seorang lelaki paruh baya tergolek tak berdaya.

Seluruh tubuhnya terlapisi dengan lakban plus plastik, namun kepala sampai pundaknya di biarkan terekspos begitu saja, mulutnya pun di ikat dengan kuat menggunakan serbet putih.

Beyond mulai mengotak-atik isi kantong belanjaannya, dia mengeluarkan sebotol soda dan 2 batang wafer cokelat panjang. Dia mulai memakan salah satu cokelat yang dia beli sambil bergerak mengitari meja tempat ‘operasi’nya nanti.

“Aku tak mau menyayat lehermu tanpa memakan sesuatu,” setelah mengitari meja itu 2 kali dan mengamati hasil kerja tangannya yang rapi, Beyond mengambil sebuah tas besar berwarna hitam yang sengaja dia sembunyikan di samping cerobong asap. “Nah, sekarang kita bisa mulai.”

Pria yang menjadi subjek pembicaraan Beyond mulai meronta, walaupun hasilnya akan sia-sia saja. Karena Beyond telah mengikatnya dengan plastik dan melakban tubuhnya lebih dari 3-5 lapisan.

Dengan hati-hati, Beyond membuka tas hitam yang nampak tak berbahaya itu. Menunjukan isinya, deretan pisau tajam mulai dari pisau untuk membedah hingga bisau besar atau golok ada di sana. Tersusun rapi sesuai dengan kegunaan masing-masing.

“Leonard Pavel Ensign,” ucap Beyond seraya dia mulai mengeluarkan beberapa pisau dari tempat penyimpanannya. “Tukang memukuli isteri, Jaksa korup, dan penyiksa anak di bawah umur.”

Sebelum melakukan ‘operasi’-nya, Beyond tak lupa memasang sarung tangan hitam, celemek hitam yang terbuat dari kulit, dan sarung lengan panjang. Dia memperlihatkan salah satu pisau yang akan dia gunakan kepada korbannya, sebuah pisau iris tajam besar.

Sang korban mengelengkan kepalanya dengan cepat, mulai meronta lagi demi keselamatan hidupnya yang tak akan lama. Hal yang wajar; karena semua manusia memiliki naluri untuk melindungi dirinya sendiri dari segala macam bahaya yang menyerangnya.

“Oh, apakah kau tak setuju kalau aku memakai pisau ini?” Tanya Beyond dengan wajah mengejek, seringai ala bob cat muncul lagi di wajahnya. “Tak apa lah kalau kau tak setuju denganku soal pisau cantik yang akan kugunakan untuk memotong lehermu....” dia mulai mengambil ancang-ancang dan tempat yang tepat untuk menebas leher pria itu secara langsung.

“Tapi kau setuju denganku bukan, kalau malam ini adalah malam yang indah untuk membunuh?”

Beyond benar-benar menikmati pekerjaannya. Selalu, dan selalu...

(FIN)

Senin, 07 Desember 2009

My Pain

0 komentar
FotoEfek.com Photo Effects

Mengapa selalu ada perbedaan dalam bumi yang menyesakkan ini? Sesuatu yang asing dan dianggap ‘sesat’ selalu dibuang dan dimusnahkan. Tanpa sebelumnya memahami keindahan eksistensi mereka, sekelompok penggugat selalu berdiri menghadang jalan-jalan mereka. Menghancurkan. Menganiaya. Merampas.

Memang selalu ada yang dinamakan perbedaan. Tanpa itu kita tak mungkin berada disini. Bumi yang kejam ini memang selalu melahirkan sejuta perbedaan. Namun masih banyak yang tidak dapat dengan rela menyambut perbedaan-perbedaan itu. Mereka selalu berdebat bagaimana hal itu tercipta, padahal sang bumi sendirilah yang telah melukis perbedaan-perbedaan tersebut. Sungguh menusia yang lalim.

Layaknya disebut perbedaan yang ‘sesat’, ke-albino-an juga selalu dianggap sesuatu yang menyesatkan.

Selalu ada yang menyakitkan karena menjadi seseorang yang dianggap asing oleh dunia. Begitulah yang dirasakan oleh Ku.

Sesuatu yang tersembunyi telah merampas keinginannya untuk memasuki dunia yang normal. Dunia dimana sebuah komunikasi sangat diperlukan. Namun bagi ku seakan komunikasi hanyalah seonggok kepalsuan. aku lebih nyaman berbicara pada dirinya sendiri daripada harus membangun sebuah jembatan pergaulan dengan orang lain.

“Saat menyentuh dirinya, aku menemukan bayangan diriku yang sedang menangis dalam kekecewaan… namun hal itu telah berlalu bersama dengan langkahnya yang telah mengajakku berlari menjauh dari masa laluku…”

Harusnya aku tidak memiliki hati ini di tubuhku. Harusnya aku memang tidak memiliki hati busuk ini. Sadarkah aku bahwa aku sunguh menyesal telah memasukan hati ini. Kini aku kejam dan membenci semua ini.

“Akhirnya roda itu berputar… takdirku telah tiba…”

Minggu, 06 Desember 2009

The Tear

0 komentar
Wammy’s House. Salju yang angkuh baru saja menancapkan panah-panahnya ke bumi yang pekat. Menebarkan aroma yang membekukan dalam setiap hembusannya. Musim dingin yang gontaipun menyapa bumi setelah sekian lama bersembunyi dalam kubah langit. Melingkupi bumi yang semakin renta ini dengan sayap-sayapnya. Bumipun tertidur dalam dekapan sang ratu salju. Terdiam. Terbisu. Kehangatan musim semi yang tersisa telah dilumat oleh kaki fajar. Ditenggelamkan oleh hentakan-hentakan malam yang merangkak naik.

Musim dingin. Setelah malam merenggut tengkuk senja, membuatnya tunduk, tersungkur, terbaring dalam buaian kaki sang rembulan, iapun muncul.

Tak ayal dan tak habis diingat angan, ia datang dengan segala keasingan dan kekelamannya.

Asing? Terisolasi?

Mugkin itulah simbol awal yang dimeteraikan pada sosoknya yang ringkih. Terpenjarakan oleh kekelaman masa lalu, tersudutkan oleh emosi-emosi yang berasal dari dunia yang bahkan belum ia kenal. Namun ada yang lain dalam sosoknya yang rapuh itu. Sebuah aliran kecerdasan mengalir dalam nadi-nadinya yang pucat. Segurat kejeniusan yang angkuh telah meminjam helaian-helaian napasnya. Berdentum seirama detak jantungnya.

Seorang anak yang bermahkotakan ke’asing’an telah memulai langkah-langkahnya dalam tembok-tembok Wammy yang kokoh.

Malam itu, ia telah diselamatkan dari jeratan kelaliman jaman. Dari lengan kejam sang waktu yang hanya mampu berjalan tanpa sekalipun berhenti.

“Siapa itu?”

Selalu ada keingintahuan. Bahkan pada diri seorang belia yang bertemankan keacuhan.

“Dia akan menjadi temanmu disini, Mello. Kau harus menjaganya.”

Si anak yang bertanya hanya menatap intens. Tatapan matanya mengabadikan sosok seorang anak yang begitu asing untuk dikomentari oleh mulut tajamnya. Anak tersebut begitu asing dan menyedihkan. Tubuhnya mengingatkannya pada sesuatu yang bernama kerapuhan. Bagai porselen yang mudah pecah. Pucat dan terlantar. Mello memandang ‘teman’ barunya itu dengan keprihatinan.

“Dia seperti sedang sekarat…”

“Mengapa ada darah di pakaiannya? Itu darah, kan?”

“Kau cerdas, Mello. Dia baru saja mengalami hal yang cukup menyakitkan… kau harus menghiburnya ya…”

“Mengapa aku?” Mello menawarkan sebuah argumen.

“Karena kau yang tercerdas…”

Mello menatap senyum pria di hadapannya. Iapun kemudian tersenyum.

“Roger memang keren.”

Sebuah senyuman yang nyaman.

Mengapa selalu ada perbedaan dalam bumi yang menyesakkan ini? Sesuatu yang asing dan dianggap ‘sesat’ selalu dibuang dan dimusnahkan. Tanpa sebelumnya memahami keindahan eksistensi mereka, sekelompok penggugat selalu berdiri menghadang jalan-jalan mereka. Menghancurkan. Menganiaya. Merampas.

Memang selalu ada yang dinamakan perbedaan. Tanpa itu kita tak mungkin berada disini. Bumi yang kejam ini memang selalu melahirkan sejuta perbedaan. Namun masih banyak yang tidak dapat dengan rela menyambut perbedaan-perbedaan itu. Mereka selalu berdebat bagaimana hal itu tercipta, padahal sang bumi sendirilah yang telah melukis perbedaan-perbedaan tersebut. Sungguh menusia yang lalim.

Layaknya disebut perbedaan yang ‘sesat’, ke-albino-an juga selalu dianggap sesuatu yang menyesatkan.

Tanpa memandang hak dan kehidupan yang bergayut pada jiwanya, sekelompok penista telah merajamnya dengan sejuta kekejaman.

Bocah yang bertemankan kesunyian dan kepedihan. Disempurnakan dengan status ke-albino-annya, ia resmi mendapat kesinisan dari dunianya sendiri.

Tubuhnya sepucat salju yang kini sedang berkemah di bumi. Begitupun dengan helaian rambutnya.

Selalu ada yang menyakitkan karena menjadi seseorang yang dianggap asing oleh dunia. Begitulah yang dirasakan oleh Near.

Mello memandang ‘teman’ barunya. Tajam. Tak ada rasa enggan didalamnya.

Sosoknya begitu kabur ditengah ruang yang berdinding putih. Karena iapun berprofil seperti dinding ruang tersebut. Monoton dan dingin.

Mello melangkahkan kakinya mendekat. Keheningan mengintip dari balik jendela-jendela yang tertutup rapat. Dari luar dapat terlihat tangan-tangan badai menyapu pepohonan. Membelai malam yang sedang meratap pilu ditengah deburan kaki hujan. Near terduduk di sofa. Anak itu hanya terdiam dan menatap lantai di depannya. Memang malam hampir sampai pada puncaknya, namun ia belum juga tertidur dalam kamarnya. Alih-alih tidur, ia lebih suka menyendiri dalam ruang rekreasi. Setelah membersihkan diri dan menyantap makan malam, ia tidak sekalipun berbicara pada siapapun. Tidak menyapa. Tidak berusaha untuk membuat komunikasi. Ia langsung bergerak menuju ruang rekreasi dan berdiam disana. Sedangkan semua anak lain mungkin sudah berbaring nyaman dalam kamarnya masing-masing.

Mungkinkan sesuatu yang dialaminya telah membekukan keinginannya untuk berkomunikasi dengan manusia lain? Ataukah ada sesuatu yang ditakutinya dalam membangun sebuah hubungan persahabatan?

Sesuatu yang tersembunyi telah merampas keinginannya untuk memasuki dunia yang normal. Dunia dimana sebuah komunikasi sangat diperlukan. Namun bagi Near seakan komunikasi hanyalah seonggok kepalsuan. Ia lebih nyaman berbicara pada dirinya sendiri daripada harus membangun sebuah jembatan pergaulan dengan orang lain.

Mungkin bagi Near, komunikasi sudah dianggapnya sebagai sesuatu yang fatal. Ia sama sekali tidak membutuhkannya lagi entah sejak kapan.

Mello menghentikan langkahnya. Ia sekarang berdiri persis di samping Near. Near duduk menyamping dalam sudut pandang Mello. Anak 11 tahun itu memenjarakan sosok seorang albino muda dalam pandangannya.

Near menyadari Mello. Ia perlahan menoleh dan mendongak.

Tatapan mereka bertemu. Berbenturan dalam keheningan yang mengoyak ruangan.

Suara badai teredam dalam kebekuan tatapan mereka. Mengurung kesunyian dalam bentuk komunikasi rahasia mereka.

Mellolah yang akhirnya memecahkan kebekuan itu.

“Hai.” Satu kata. Kata yang datar.

Near hanya menatapnya. Setelah beberapa detik yang mengalir di antara mereka, Near kembali menatap lantai di hadapannya, tanpa merespon kata-kata Mello.

Mello, yang memang selalu terbiasa mendapatkan keinginannya, menyadari baru saja tidak dihiraukan, menjadi sedikit kesal.

“Kau tidak bisa bicara, ya?” Mello mulai melontarkan kekesalannya.

Near tetap tidak bergeming.

“Aneh sekali, kau…”

Mello benar-benar merasa marah sekarang. Bocah di hadapannya sama sekali tidak meresponnya. Padahal niatnya baik. Ia hanya ingin berkenalan dengan bocah yang terlihat kesepian dan menyedihkan itu. Tapi yang didapatnya sekarang hanyalah tatapan dingin dari bocah tersebut. Bahkan sapaannya tidak dijawab.

“Dasar aneh!”

Melontarkan dua kata, Mello langsung melesat meninggalkan ruang rekreasi dengan dipenuhi kekesalan. Ia tak habis pikir bagaimana bocah itu dapat semenyebalkan itu, bahkan pada saat pertemuan pertama mereka.

Pintu terbanting menutup.

Sesaat Near hanya terdiam menatap lantai di bawah kakinya, mendengarkan alunan badai yang bergelora di luar jendela. Tatapan matanya tampak sedih. Sedetik kemudian ia menoleh ke arah menghilangnya Mello. Pintu ruang rekreasi tertutup sempurna. Entah kenapa hal itu membuatnya merasa sangat menderita. Ia merasa seperti sedang terbelenggu oleh rantai besi di dalam sebuah sel isolasi. Pintu itu telah mengurungnya bersama deraan irama badai. Badai yang selalu datang dalam hidupnya.

Masih menatap pintu, ia menggumam lirih. Suatu desakan hati yang telah lama terisolasi. Seperti dunianya yang memang lekat dengan ruang isolasi sebuah rumah sakit. Ia merasa selalu seperti terisolasi dari dunia luar. Tidak mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi. Walau ia memiliki seluruh kecerdasan semua orang di bumi ini, ia merasa sangat tak berdaya. Fisiknya selalu memenjarakan keinginannya untuk mengepakkan sayapnya dengan bebas.

Ia tidak pernah bisa melepaskan sayapnya dari rantai itu.

“Apakah aku memang ‘berbeda’?”

Maka saat badai bergulir, mencuri keceriaan sang malam, pertemuan mereka digariskan. Penuh keabsurban, namun Mello telah meninggalkan ‘kesan’ dalam mata Near.

Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain pada dirinya.

The Frozen Sketch

Near mengabadikan siluet di depannya.

Sebuah gambaran kelam yang mampu merenggut setengah dari eksistensi dirinya.

Satu katapun tak mampu dibisikkan oleh bibir kelunya. Sebab matanya terlalu sibuk menggapai pemahaman tentang apa yang tengah terjadi di depannya.

Yang ia ingat dari kejadian itu hanyalah sekelumit adegan yang menyakitkan.

Tubuhnya yang tak bisa digerakkan. Rasa sakit yang hebat menguar dari dadanya yang terhimpit. Kemudian di sana, di hadapannya, kedua tubuh tergolek kaku, dibalut oleh darah yang mengalir deras. Sungguh pemandangan yang mengerikan.

Near berusaha menggapai. Namun ia tidak sanggup meraih kedua orang tuanya. Sebuah kabut yang kejam menguar di sekelilingnya. Teriakan liar asing yang menyesakkan menyerang pikirannya.

Near menggapai-gapai melalui jemari lemahnya. Terus menggapai tanpa sepatahpun kata terbang dari bibirnya. Sedang matanya terus mengabadikan bayangan kematian orangtuanya, jiwanya perlahan-lahan tertutup untuk dunia luar.

Dunia telah mengkhianatinya.

Dunia telah mengambil kebahagiaannya di saat usianya yang bahkan masih sangat belia.

Ia menatap siluet kematian itu untuk yang terakhir kali. Menyimpannya dalam ruang-ruang memorinya. Sungguh kejam takdir telah menyuguhkan pemandangan seperti itu untuk anak usia 9 tahun.

Sejak saat itu, Near telah kehilangan sebuah dunia.

“Dia selamat.”

Kalimat yang menyesakkan.

“Sungguh menyedihkan. Kedua orangtuanya tewas seketika. Kontainer itu benar-benar menggilas sedan putih itu. Untung saja, putra mereka bisa diselamatkan. Padahal ia telah sekarat. Jika terlambat satu menit saja, ia pasti akan menyusul orabgtuanya. Ia benar-benar beruntung”

“Tapi anak itu juga belum melewati masa kritisnya… kita hanya bisa berdoa…”

“Semoga Tuhan menyertainya…”

Di balik pintu Near sayup-sayup mendengar percakapan itu.

Beruntung? Jangan bercanda, ia malah berharap dapat bergabung bersama orangtuanya.

“Siapa dia?”

Near masih sangat jelas mengingat kata-kata pahit itu. Beserta percakapan yang kemudian tercipta.

“Putra dari temanku yang meninggal karena kecelakaan.”

Near mengenali suara itu. Milik seseorang yang dulu memang selalu bersama ibunya saat masih hidup. Sahabat baik ibunya.

“Maksudmu, kau dititipi sementara?”

Near mendengar suara mendesah berikutnya.

“Mungkin begitu… tak layak membiarkan anak itu begitu saja. Kedua orangtuanya telah pergi… dia hanya sendirian…”

“Apa maksudmu sendirian? Kau hanya harus mengembalikannya kepada keluarga orangtuanya, kan?”

“Dia… tidak punya kerabat…”

“Apa maksudmu?”

“Temanku… wanita yang sangat baik, namun ia ditolak oleh keluarganya sendiri… ia pergi dari keluarganya dan kemudian hidup dengan suaminya…”

“Apa… maksudmu…?”

“Suaminya seorang albino… “

Saat berikutnya Near sangat jelas dapat mendengar suara terkejut yang tertahan. Dari sudut matanya ia dapat merasakan tatapan tajam dari wanita asing yang bercakap-cakap dengan sahabat ibunya.

“Dia… anak itu juga…”

“Untuk saat ini, aku harus merawatnya, mengingat keadaannya yang masih rawan… ia hampir meninggal…”

“Pasti sulit untukmu… kau benar-benar wanita yang baik…”

Sebuah senyuman hangat.

“Aku tidak keberatan… ia memang membutuhkan bantuanku…”

Near merasakan tatapan tak bersahabat dari orang-orang di hadapannya.

Sorot mata mereka mencemooh dan menghakimi.

“Hai, anak iblis, pergi kau dari sekolah kami!”

“Kami malu punya orang sepertimu di tempat kami. Tempat ini tak layak bagimu, kau tahu!”

Near menatap tajam kelima anak yang mengelilinginya.

“Aku dengar kau juga bawa sial ya… karenamu kan orangtuamu tewas?”

“Jangan-jangan karena gen iblismu ya… dari ayahmu yang juga berdarah iblis itu, kan?”

Tawa yang tak layakpun menggema.

“Jangan ganggu aku…”

Anak-anak itupun menatap Near.

“Sombong sekali kau! Dasar anak iblis!”

Saat berikutnya Near menerima pukulan dari tangan-tangan yang telah terlebih dahulu menistanya dengan kejam.

Mengoyakkan dunianya yang kecil.

Malam beringsut naik.

Detik-detik jam yang mengalun lembut tengah mengawasi seorang anak yang menatap kosong sebuah ruang di depannya.

Sejalan dengan detik yang bergumam, ia mengingat kembali untaian masa lalunya yang ingin sekali dimusnahkannya.

‘Kau tak menyesal?’

‘tak pernah…’

Percakapan masa lalu kedua orangtuanya. Kemudian percakapan yang harus didengarnya saat tahun pertama ia masuk kelas 4.

‘Wah… kulitnya putih sekali… seperti hantu…’

‘Jangan dekat-dekat dengannya…’

‘Ia adalah seorang albino… nama yang digunakkan bagi penganut ajaran sesat… seperti ayahnya…’

Near meremas jemarinya membentuk sebuah kepalan. Sejurus kemudian keheningan membuka kembali percakapan dengan orang yang paling mengerti akan dirinya; ayahnya.

‘Mengapa kulitku berbeda, dad?’

‘Kau bicara apa? Lihatlah kulitku… sama dengan kulitmu, kan?’

‘Tapi kenapa hanya kita yang mempunyai kulit seperti ini? Mengapa tidak semua orang?’

‘Dengar Nate… kau adalah seorang yang dikasihi Tuhan. Makanya Ia memberikanmu warna kulit yang spesial… kau kan mengerti bahwa tidak semua orang bisa menjadi spesial… dan orang-orang yang spesial mempunyai ciri yang spesial juga… kau harus bangga dengan ini…’

‘Benarkah?’

‘Kapan aku pernah berbohong padamu?’

Near tersenyum tenang. Ia merasa terhibur dengan ucapan ayahnya yang menyejukkan.

‘Jangan sampai ucapan-ucapan tak berguna itu melukaimu… jadilah tegar, Nate…’

Near terus mengingat kata-kata itu sampai kapanpun. Sebuah kekuatan bagi jiwanya yang terhilang.

Gleam Curiosity

Pagi yang bening kembali menjenguk bumi. Sebuah hari yang baru terlahir kembali. Wammy kembali diterangi oleh senyuman mentari, di tengah gelak tawa jiwa-jiwa yang masih muda. Hari-hari yang baru bagi Near juga mulai tercipta di Wammy.

Biasanya Near memulai harinya begitu awal.

Setelah mandi dan menyantap sarapan, ia langsung menguasai ruang rekreasi seorang diri. Menyabotase semua properti permainan yang ada di tempat itu. Sebenarnya tempat itu jarang dimasuki, karena hanya mereka yang ingin menyendiri dan beristirahat saja yang masuk ke tempat itu. Sedangkan sebagian anak sudah puas bila harus beristirahat di aula utama. Alasan lainnya adalah tempat rekreasi itu tidaklah begitu luas. Tempat itu dikhususkan untuk anak-anak yang memang ingin bermain. Semua jenis permainan disimpan di ruang tersebut. Dan faktanya adalah bahwa anak Wammy lebih suka main di halaman daripada main dalam ruangan. Maka tempat itu jarang dimasuki. Namun tidak lagi setelah Near berada di Wammy.

Near begitu menyukai tempat itu. Ia bisa dengan leluasa menikmati kesendiriannya di sana. Baik dengan menyusun puzzle ataupun menyusun benda-benda lain. Dari cara ia menyusun setiap benda memperlihatkan bahwa ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Setiap benda yang disusun bukan sekedar bentukan tanpa arti , namun memiliki bentuk yang luar biasa menakjubkan, yang semestinya belum bisa dipikirkan seorang anak usia 10 tahun. Sebuah ‘kota’ kecil kadang muncul dari susunan potongan dadu. Atau sebuah ‘gedung pencakar langit’ yang terlahir dari tumpukan kartu tarot. Hal itu cukup membuktikan bahwa Near tidak layak diremehkan. Ia tidak sekedar bermain, namun ia menyalurkan kejeniusannya melalui benda-benda kecil tersebut. Near adalah otak tercerdas di Wammy.

Setiap hari Near selalu melakukan ‘rutinitas’ yang mungkin dianggap membosankan oleh yang lain, namun di balik semua itu, mereka tidak dapat melihat bahwa sebuah kejeniusan tengah terancang dalam tembok-tembok Wammy. Near memainkan logikanya dalam tumpukan benda-benda yang kecil. Sebuah kecerdasan yang bahkan sebenarnya tidak terpikirkan oleh seorang dewasa. Near mewarisi kejeniusannya dari ibu bumi. Kejeniusannya alami.

Hari itu juga, Near juga menikmati kesendiriannya dalam ruang yang sama.

Ia tengah membuat sebuah ‘kota’ dari gabungan tumpukan benda-benda persegi kecil.

Bangunan itu hampir memenuhi separuh ruangan. Sungguh sebuah hal yang menakjubkan. Di saat ia sedang menikmati menyelesaikan bangunan itu, sepasang mata tengah mengawasinya juga. Dengan diam-diam.

Mello menatap Near melalui celah pintu yang dibukanya. Mengawasi kenikmatan Near dalam menyelesaikan ‘bangunannya’. Sesungguhnya itu bukanlah kali pertama ia mengawasi Near secara diam-diam. Ia begitu terpana melihat apa yang dihasilkan tangan-tangan pucat itu. Mello sering mengawasi Near menyusun benda-bendanya sendiri. Ada perasaan yang aneh terbersit dalam dadanya.

“Apa yang dilakukan albino sombong itu? Rasanya tanganku gatal bila tak mengganggunya…”

“Hei!”

Seruan yang lantang bergema setelah sebuah pintu di buka dengan kasar.

“Hei! Kau tak dengar ya…”

Mello langsung merasa adrenalinnya naik. Tangannya yang agresif itu langsung menebas ‘kota’ Near. Meruntuhkannya dengan sekali gerakan.

Mello seketika tertawa tergelak-gelak. Ia merasa puas melihat bangunan itu runtuh secara cepat.

Near menatap ‘kota’nya yang runtuh. Tak ada ekspresi dalam matanya. Sebelum menunggu reaksi Near. Mello langsung melesat ke luar ruangan. Meninggalkan Near dengan perasaan tak tertebak.

Hari yang lain.

Near mendapati Mello meruntuhkan ‘hasil kerjanya’ lagi.

Seperti biasa, Near tak berekspresi. Tak mengumpat. Tak marah. Tak mengeluh. Ia selalu menutup bibirnya rapat-rapat.

Sekian kali Mello mulai menyadari ada yang tak beres dengan ketenangan Near. Semakin lama ia merasa seperti diejek. Entahlah, memang Near tak pernah mengejek Mello secara nyata. Tak pernah sekalipun kalimat penghinaan didengar Mello keluar dari mulut Near. Namun ada yang ‘tersembunyi’ dari ketenangan Near. Ketenangannya luar biasa untuk anak seusianya. Dan sepertinya ketenangannya inilah yang semakin lama dibenci Mello.

Memang tidak seperti Near, Mello adalah anak yang agresif. Ia ceria, berani, kasar, emosional, dan berenergi.

Mello terbiasa menanggapi semua masalah dengan kekerasan. Ia nyaman dengan hal itu.

Namun kali ini ia mendapat pengalaman yang baru.

Seseorang yang tidak pernah menghiraukan kebiasaannya yang keras. Baru kali ini ia menghadapi orang yang tidak membalas saat ia mengganggunya. Bahkan menatapnyapun tidak.

Near tidak pernah membalas setiap gangguan yang dibuat oleh Mello.

Tidak pernah sekalipun.

Akhirnya kesabaran Mello di ambang batas. Ia justru merasa kesal di ‘diam’kan oleh Near.

Ketenangannya terlalu menyakitkan.

Mello merasakan dorongan untuk memukul anak di depannya; yang tengah menyusun kembali ‘bangunan’ dadunya yang telah runtuh sedetik yang lalu.

Benar saja, tangannya yang cekatan meraih lipatan pakaian Near. Pukulannya langsung menyapa wajah pucat Near.

Near sempat terkejut dengan peristiwa yang dialaminya barusan. Ia menatap Mello seketika itu juga. Namun tidak berkata-kata. Tatapannya cukup membuat amarah Mello semakin memuncak.

“Ayo! Apa yang mau kau lakukan, hah?!” Mello berteriak kasar.

Akhirnya Near membuka suara.

“Mengapa kau memukulku?”

Seperti tersengat aliran listrik, Mello terkesiap.

“Mengapa kau memukulku? Aku tidak melakukan hal yang buruk terhadapmu…” Tatapan Near mampu membuat Mello melihat ‘kelaknatannya’ sendiri.

Mello terpaku.

Memang seharusnya Mello tidak boleh memukul Near. Anak itu tidak melakukan apapun terhadap Mello. Namun entah kenapa Mello merasa kalah saat menyaksikan ketenangan Near beradu dengan kekerasannya.

‘Ada yang aneh…’

Dan suara pintupun menggema.

Mello telah meninggalkan ruangan itu.

Luscious Jealousy

Sudah begitu sering Mello menekuni kegiatannya mengganggu Near disela-sela anak itu menyusun permainannya. Namun Mello tidak pernah lagi memukul anak pucat itu. Tidak lagi.

Setelah dihantui tatapan mata Near sepanjang beberapa malam, ia tidak lagi berani memukul Near. Ada sesuatu yang memprihatinkan dalam matanya. Ia merasa berdosa melakukan hal itu. Memang ia masih membenci saat Near tenang dan tak merespon perlakuan Mello, tapi anehnya Mello masih tetap menghampiri Near setiap hari. Ia masih tetap melakukan ‘rutinitas’nya dalam mengganggu anak pucat itu membangun dunia kecilnya sendiri. Ia merasa puas dengan hal itu. Membuka pintu dengan kasar, masuk dan meruntuhkan bangunannya, dan kemudian berlari keluar sambil tergelak.

Ia puas dan bahagia dengan kegiatan itu.

Aneh memang.

Sepertinya tanpa disadari, Near telah menjadi pusat kehidupan Mello. Mello mulai menikmati kebersamaan yang absurb dengan Near. Meruntuhkan bangunannya, sama dengan meruntuhkan logika Near. Seakan dengan begitu ia dapat meruntuhkan kesuperioritasan Near juga. Namun ada yang indah dari setiap pertemuan mereka yang singkat itu. Sesuatu yang asing namun manis terpaut lewat setiap gelakan Mello. Sesuatu yang menyenangkan terpahat lewat debaman pintu yang dibuka dengan kasar. Waktu-waktu singkat yang mereka lukiskan sendiri telah memulai sebuah perjalanan abadi dalam kanvas kehidupan mereka.

Near dan Mello mendapati diri mereka dalam sebuah harmoni yang terkunci. Misterius namun indah.

Namun ternyata ada seseorang lain yang juga memerhatikan kegiatan itu.

Seorang sahabat yang mungkin sedikit ‘cemburu’ melihat rangkaian peristiwa tidak jelas itu.

“Kau terlihat menikmati ini, Mello…”

“Apa maksudmu, Matt?”

“Kau tidak bisa menutupinya dariku… kau selalu bersama denga Near kan setiap hari?”

“Aku hanya mengganggunya saja…”

“Ada perbedaan yang jelas, Mello…”

“Apa maksudmu?”

“Kau seakan terkesan dengan Near… Kau bukan mengganggunya. Kau ‘menemani’nya…”

“Sudahlah, aku tidak ingin membicarakannya.”

Mello mendegus kesal.

Namun Matt tahu bahwa sesungguhnya itu benar.

Mello menemani Near setiap hari, sekitar jam 2 sore, di ruang rekreasi.

Tanpa disadarinya, ia malah tidak bisa terlepas dari kegiatan itu.

“Kau telah berubah, Mello. Seakan kau khawatir ada yang akan menggantikan posisimu, namun sekaligus kau juga mendapatkan seorang rival. Seorang yang bisa kau cemaskan, karena sewaktu-waktu kau takut tiba-tiba posisimu telah tergantikan. Sebelumnya kau tidak pernah seperti ini… waktumu selalu dihabiskan dengannya, walau hanya sebentar…”

Matt mendesah.

“Apakah aku belum cukup untukmu, Mello? Tak tahukah kau… bahwa aku sedikit cemburu…”

Longing Ocean

Near menatap sebuah celah. Pemandangan yang dirindukannya.

Ia memandang Mello yang tengah tertawa ceria bersama seorang anak yang berambut merah cerah.

Sepertinya mereka begitu ceria. Begitu menikmati apapun hal yang tengah mereka bicarakan.

Near terkesiap saat menatap lengan Mello yang melingkari punggung Matt, memang kasar, namun hal itu terlihat nyaman. Mattpun membalasnya dengan memukul pundak Mello lembut.

Dan Nearpun berbalik saat ia mendapati Mello mengecup wajah Matt.

Ia berlari kembali ke kamarnya. Menutupnya dan duduk di sisi tempat tidur.

Begitu akrab. Itulah yang dipikirkan Near. Betapa ia ingin bisa seperti itu. Namun ia tahu bahwa itu tidak mungkin terjadi. Ia terus mengalami harapan palsu. Seperti laut yang berharap tanpa sedikitpun terpenuhi. Laut yang sangat egois.

Ia merasakan sesuatu yang hangat mengalir pelan dari kelopak matanya.

Eternaly Bridge

“Near… kudengar orangtuanya meninggal karena kecelakann yang tragis. Sebuah kontainer menggilas mobil mereka. Kedua orangtuanya seketika tewas, sedang Near terhimpit didalam. Ia menyaksikan kedua orangtuanya tewas… bagaimanakah rasanya…”

Matt memulai sebuah percakapan.

“Huh… kita sama saja dengannya… kau tidak perlu terlalu prihatin.”

“Untunglah Tuan Wammy mengenal orangtuanya. Jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padanya…”

Mello menatap Matt tajam.

“Kita semua beruntung mendapatkan Tuan Wammy…”

“Mello… apakah kau pernah terpikir… apa jadinya bila kita tidak ditemukan oleh tempat ini?”

“Kita semua sama, Matt. Semua orang disini punya jalan yang sama. Berakhir pada tangan takdir yang kejam. Semua manusia. Semuanya.”

“Aku rasa tidak, Mello…”

Mello mendengus.

“Lebih baik kita makan sekarang… aku sudah lapar…”

Seorang albino.

‘Dia seorang albino, Mello. Seseorang yang kekurangan pigmen warna dalam kulitnya. Sesungguhnya tidaklah berbeda dengan kita, manusia normal, hanya saja sekelompok masyarakat telah dengan tidak bijaksana menyimpulkan bahwa hal itu dikarenakan sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan. Sesuatu yang berhubungan dengan okultisme dan sejenisnya.’

‘Mengapa dengan itu?’

‘Mereka dianggap keturunan iblis atau sejenisnya. Sekelompok masyarakat sangat membenci mereka, bahkan terkadang ingin membunuh mereka.’

‘Mungkin sudah terlampau banyak kesakitan yang diderita anak ini.’

Mello memandang punggung Near pada ambang pintu ruang rekreasi.

Near tengah menyusun ‘bangunan’nya seperti biasa.

Tidak seperti biasanya, Mello kini masuk dengan tenang. Tanpa keributan.

Near menyadari keberadaan Mello, namun tidak menoleh. Ia tetap melanjutkan kegiatannya.

Mello menutup pintu dibelakangnya. Ia duduk di belakang Near. Sejenak yang mengambang diantara mereka hanya keheningan. Mello yang mengawasi punggung Near yang bergerak cekatan meletakkan balok-balok kecil satu demi satu. Tidak meruntuhkannya, tidak menghancurkannya. Mendengarkan irama ‘bangunan’ yang akan segera lahir. Mendengarkan irama napas Near yang teratur.

‘Semua anak disini sama saja, Matt… semuanya terbuang…’

Namun Mello merasakan hal yang lebih menyakitkan dalam hati Near. Lebih dari sekedar anak-anak disini. Mungkinkah karena ia seorang albino? Albino terkadang sulit diterima, terutama dalam masyarakat dunia bagian barat. Seperti tempat mereka berada saat ini.

Menit-menit berlalu, bergayut lembut mengalir melalui dinding-dinding yang terdiam. Kedua sosok yang saling bertukar komunikasi rahasia. Menikmati saat-saat yang terkurung dalam keabadian pikiran.

Hingga suatu kejadian terjadi.

Bumi merasakan getaran pada pilar-pilarnya yang kokoh. Udara berdenyut kuat seakan tegang menyadari ada yang tidak beres. Tanah bergetar, menyentakan setiap debu-debu yang tertidur dalam tangan jaman.

Sebuah gempa yang cukup kuat melanda Wammy!

Seketika yang sangat singkat, ruang tempat Near dan Mello berada bergetar sangat hebat. Keduanya begitu terkejut , namun kejadian itu berlangsung sangat cepat. Tak ada kesempatan bagi mereka untuk menghindar, ruang tempat mereka berada seketika mengubur mereka dalam puing-puing.

Ruang rekreasi Wammy berada pada sayap barat. Ruang itu berdiri paling ujung pada bangunan megah itu. Wammy’s House memang bangunan kuat, namun gempa yang terjadi cukup kuat, sehingga menyebabkan ruang rekreasi; yang memang merupakan bangunan yang belum dipugar, tidak bisa menahan kekuatan gempa.

Mello dan Near merasakan getaran itu.

Near menatap ‘bangunan’nya runtuh dalam gerakan yang lambat. Seakan detik-detik mengalir dengan lambat. Near menatap akhir dari bangunannya, dan menangkap kadua mata Mello yang sehijau zamrud.

Near menatap sebuah pilar dibelakang Mello. Pilar itu runtuh perlahan-lahan… runtuh menuju punggung Mello!

Near tidak pernah melepaskan sebuah kata dalam mulutnya. Tidak sepatahpun.

Near menerjang pundak Mello kuat. Mendorongnya sekuat tubuhnya yang kecil dapat melakukannya.

Mello terkejut dengan peristiwa sepersekian detik itu.

‘NEAR!’

Gempa berhenti. Namun gemuruhnya yang menggema masih memantul pada langit senja yang meratap.

Sebuah kidung yang memperkenalkan kedukaan pada kaki langit mengalun pelan, memaksa senja yang angkuh tunduk pada cengkraman alam yang liar.

Wammy bergetar, masih terkejut dengan kejadian yang menimpanya.

“Near…” Suara Mello bergetar ngeri.

Di hadapannya terhampar pemandangan yang mengerikan. Seluruh ruang tertutup reruntuhan. Ruang itu memang tidak runtuh, namun mereka terjebak di dalamnya. Tidak ada tempat untuk bergerak leluasa untuk Mello, ia terjebak dalam ruang kecil yang terbentuk dari reruntuhan yang terjatuh. Membuat ruang geraknya sangatlah terbatas, namun ia tidak terhimpit apapun.

Nearlah yang telah menyelamatkannya dari kemungkinan itu.

Mello dengan ngeri menatap tubuh Near yang terhimpit reruntuhan pilar di hadapannya.

Sedetik sebelum terkubur reruntuhan, Near mendorong Mello kesamping dan akhirnya dialah yang menerima serangan itu.

Mello menatap wajah Near yang pucat.

Setengah tubuhnya terhimpit pilar yang runtuh. Sepersekian detik Mello mengira Near telah meninggal.

“Near… Near… kau baik-baik saja?”

Akhirnya sebuah suara yang sangat lemah menenangkan hati Mello yang kalut.

“Aku baik-baik saja… jangan khawatir…”

“Apa maksudmu…” Masih terdengar kepanikan.

“Aku sudah pernah mengalami ini…”

“Bodoh! Kenapa kau mendorongku!”

Near tidak menjawab.

“Bodoh…”

Seketika itu juga Mello langsung teringat pemandangan ‘bangunan’ Near yang selalu diruntuhkannya.

Waktu berjalan sangat lambat. Mereka tidak tahu sudah berapa lama berada disana. Apakah 4 jam? Atau jangan-jangan baru 4 menit.

“Near, kau harus bertahan…”

Tak ada jawaban. Mello mendapati Near telah menutup matanya.

“Near… Near! Kau masih hidup? Jangan berani-berani kau meninggalkan aku, kau bodoh!” Mello mulai merasakan kedua matanya panas oleh air mata.

“Mello…” Itulah pertama kalinya… pertama kalinya Near memanggil nama anak berambut pirang itu.

Mello terdiam. Menunggu kata-kata yang akan meluncur dari mulut Near.

“Terima kasih…”

Detik-detik menyebrang.

“Kau adalah orang pertama yang mau memanggil dan menemaniku… selama ini semua orang menjauhiku dan mengganggapku menjijikkan… kaulah yang pertama melakukan hal itu padaku… walau dengan cara yang sedikit berbeda, aku sudah puas… terima kasih Mello…”

“Jangan bicara dulu, bodoh…”

Mello benar-benar menangis sekarang. Ia tidak kuasa menahan air matanya.

“Mello… “

“Near…?”

Mello merasakan ketakutan dalam hatinya. Ia menatap wajah Near yang semakin pucat. Setitik darah mengalir dari dahinya. Matanya perlahan menutup. Napasnya perlahan mereda.

Mello benar-benar panik.

“Near!”

Analogy Consiliation

Untuk waktu yang seperti terasa selamanya, akhirnya kekacauan itu terselamatkan. Mello dan Near berhasil diselamatkan. Dengan keadaan Mello hampir kehabisan oksigen, dan Near hampir tewas.

Wammy mengalami perombakan.

Ternyata efek gempa itu menyebabkan sebagian bagunan Wammy hancur. Terutama bagian sayap barat.

Setelah mengucapkan sederet koordinasi, bangunan Wammy akan segera di perbaiki kembali.

Namun yang terpenting dari semuanya itu adalah, kedua jiwa yang akhirnya saling memahami satu sama lain. Kelemahan dan kelebihan. Kehebatan dan kekurangan. Kesedihan dan kebahagiaan.

‘Mungkin dia telah mengalami banyak kesakitan.’

Mello menyadari bahwa kini ia memiliki seseorang untuk diperhatikan. Untuk dikejar.

Sebuah dunia yang lahir dari kunjungan sang takdir membuat Mello berbalik dari tempatnya berada. Tidak lagi berada dalam keangkuhan pribadinya, namun kini ia berada dalam jalur Near yang menghadangnya kuat. Kuat namun lembut. Kokoh namun indah.

Near telah membawa sebuah perubahan dalam dunia Mello yang monoton. Mulai kini ia tidak lagi merasa bosan. Ia akan terus mengejar Near dan mengalahkannya.

Mello membenci Near sekaligus mencintainya.

Ia ingin mengalahkannya namun juga ingin melindunginya. Ia ingin mengubah pandangan bocah pucat itu bahwa dunia tidak sekejam yang selama ini dilihatnya. Ia berjanji akan membawanya melihat hamparan kebahagiaan yang ada di bumi ini.

Mello ingin membuat Near bahagia.

Disamping kekasaran dan kebenciannya, ia mencintai Near dengan segenap hatinya.

Sungguh perasaan yang kompleks.

Bulan baru menaungi Wammy.

Gempa yang menghantui itu telah berlalu bagai kabut tersaput angin. Namun ada yang tidak pernah berakhir dalam tembok-tembok Wammy.

Merangkai sebuah perjalanan baru bagi kedua sosok muda yang terbuang.

“Near!”

Mello menerobos pintu, menggetarkan susunan kartu tarot Near yang membentuk beberapa piramida.

“HUH! Kau masih saja membuat ‘sampah’ itu…” Mello menerjang.

“Kalau begitu ayo bantu aku menyusun ‘sampah’ ini kembali, Mello. Dan tutup pintunya, dasar maniak coklat…”

“Hmp! Dasar albino sombong!”

Mello melangkah mendekati Near.

Pintu dibanting menutup.

Seseorang di luar; entah dia mengintip atau menguping, hampir terkena debaman pintu yang dibanting itu.

“Brengsek kau Mello…” Matt mengumpat tajam.

Perjalanan kita sama? Tidak, perjalanan kita masing-masing sangatlah berbeda. Namun yang membuat sama adalah pemahaman yang saling menautkan jari-jarinya pada loh jiwa kita. Menjadikannya begitu bermakna.

End Of The Story

All Death Note

0 komentar
Note And Idealism : Yagami Light

Idealisme. Satu kata yang sangat dipuja pemuda cerdas ini. Sebagai seorang pelajar sekaligus pemilik intuisi yang kuat terhadap ‘keadilan’, ia merasa harus mengadili dunia yang telah tercemar oleh berbagai-bagai kenistaan ini. Pemuda berparas sempurna dan berkepercayaan tinggi ini bersumpah akan mengoyak bumi yang penuh dengan kebebalan ini dan berjanji akan membangunnya lagi menjadi sebuah ‘surga’ bagi seluruh napas yang mengalir dalam bumi ini. Suatu dunia yang hanya berputar dalam satu poros, yaitu kedamaian. Tanpa kebobrokan, tanpa kesakitan. Dan akhirnya iapun mendapatkan senjatanya dalam wujud sebuah benda yang sangat sederhana. Yagami Light menemukan dirinya tergenggam dalam sebuah ‘note’ yang akan memutar poros bumi ini dalam intuisi ‘kebenaran’nya.

“Akhirnya roda itu berputar… takdirku telah tiba…”

Sweets And Justice : L Lawliet

Apakah yang akan dihasilkan dari sesendok sesuatu yang manis dengan selusin keadilan? Tentunya bukanlah sebuah hal yang absurb. L telah memulai hidupnya dalam cengkraman keeksotisan sesuatu yang manis. Seluruh jiwa dan pikirannya begitu mencintai hal yang berbau ‘manis’ itu. Akhirnya iapun memutuskan akan tetap menjalani takdirnya dalam genggaman aroma yang manis disamping kefanatikannya terhadap keadilan. Ya, ia telah memulai sebuah perang melalui secangkir teh yang dilumuri racun yang sangat manis. Sesosok penantang yang sangat indah untuk ditikam oleh keangkuhan analisanya. Terlalu indah untuk dibunuh oleh ketajaman nalurinya. L Lawliet mendapati dirinya di persimpangan kehampaan; antara kekaguman dan keadilan. Ia terlalu angkuh untuk mengakui bahwa ia telah terperdaya dalam genggaman sang ‘kira’.

“Mungkin aku memang terlalu kekanakan… dan hal itulah yang sangat kubenci…”

Love And Sacrifice : Amane Misa

Bagi gadis cantik ini, seluruh dunia hanyalah sebentuk kekosongan yang menyebalkan. Ia telah mengarungi berbagai-bagai lautan kekecewaan dalam pengembaraannya untuk bertemu dengan sebuah arti kehidupan. Seluruh kehidupan dan harapannya telah hilang bersama dengan lenyapnya bayangan kedua orangtuanya. Amane Misa kemudian hanya berharap bahwa tak ada lagi yang akan menyakiti hati dan pikirannya. Bahkan ia berharap Tuhan jangan sampai ‘memukulnya’ lagi. Ia hanya ingin mencari ketenangan dalam arus dunia yang menyakitkan ini. Namun saat berbelok dalam kehampaan ia telah menemukan sebuah harta karun. Melebihi seluruh impian terliarnya sekalipun. Dan ia akhirnya memutuskan akan melakukan apapun demi harapan barunya itu. Ia akan mengorbankan seluruh hidupnya hanya untuk mempertahankan harta itu. Tidak peduli jika itu harus membuatnya kehilangan irama napasnya. Sebuah keegoisan yang angkuh, namun sangat rapuh. Amane Misa telah jatuh dalam lautan asmara yang sangat mematikan. Sebab ia telah mendapatkan hati sang ‘eksekutor terliar’. Hati yang dingin dari sesosok penggugat keadilan. Kira itu sendiri.

“Apakah arti dari sebuah napas, jika kita tak dapat memiliki keleluasaan untuk menghirup sebuah cinta?”

Blood And Chocolate : Mello

Pemuda yang penuh dengan aroma darah. Mungkin itulah yang dapat mendeskripsikan Mello. Sebuah anagram dari bayangan noda merah dalam selokan nadinya, ia juga telah mengadopsi coklat dalam pertaruhan hidupnya. Bagi dia, segenggam coklat sudah cukup untuk menemani kehampaan dalam jiwanya. Sebuah warna yang senada dengan darahnya. Coklat dan darahnya telah lama menjalin sebuah kepercayaan. Jauh sebelum bumi ini menggigil dalam keheningan waktu. Mello berbisik pada dirinya sendiri bahwa ia hanya akan mempercayai coklatnya seperti ia mempercayai darahnya sendiri. Tentu saja selain seorang ‘fellow’ yang ia anggap sebagai bagian dari coklat dan darahnya sendiri. Sebuah nama menggantung dalam getaran napasnya.

“Matt… kau selalu berada dalam aliran darahku… sewarna dengan coklat yang kunikmati setiap waktu…”

The Game And Friendship : Matt

Mungkin sebuah ‘permainan’ sudah cukup menjelaskan tentang pemuda penyendiri ini. Layar dibuka, sebuah permainan berjalan, waktupun bergulir pasti. Bagi Matt, hidup hanyalah duplikat dari sebuah permainan yang selalu ia genggam dalam tangannya, berbingkai sebuah ‘console’ game, ia telah memulai hari-harinya dalam jentikan irama permainan yang bahkan kadang ia ciptakan sendiri. Hidup dan permainan. Beda pemahaman itu hanyalah setipis bayangan. Dan hanya sebuah persahabatan kentallah yang dapat menerobos pertahanan pemahamannya. Persahabatan yang bahkan untuk itu ia rela bermandikan darahnya sendiri. Dan sungguh, di akhir hidupnya ia dapat melihat tirai hidupnya ditutup, namun sebuah tempat yang indah telah membuka sebuah tirai yang lain di hadapannya; sepersekian detik sebelum jantungnya berhenti bekerja.

“Bukankah hidup itu hanya arena permainan, dan kita adalah bidak-bidaknya?”

Calm And Brittle : Near

Seorang albino selalu ditolak. Bagai sebuah malam yang tak dapat dipeluk siang, bagai sebuah hujan yang selalu menatap musim semi, tanpa sedikitpun pernah menjamahnya. Near adalah seorang yang mendapatkan bagian penolakan itu. Namun sebuah takdir yang manis telah membimbingnya kepada suatu kehangatan. Keluar dari ratapan kematian orang tuanya. Sebentuk sosok yang tenang namun rapuh. Itulah dia. Kecerdasan mengambil alih segenap pemikirannya. Dan hanya itulah harta yang ia punyai selain dari ketenangan yang sangat dingin. Sebagian kerapuhannya telah menyatu dalam keabsurban emosi seseorang. Seseorang yang telah meminjam perhatiannya. Ia mengenal Mello sebagai sebentuk borgol yang selalu mengikat kedua mata dan tangannya.

“Saat menyentuh dirinya, aku menemukan bayangan diriku yang sedang menangis dalam kekecewaan… namun hal itu telah berlalu bersama dengan langkahnya yang telah mengajakku berlari menjauh dari masa laluku…”

Righteous And Madness : Mikami Teru

Apakah ada hubungannya sebuah kebenaran dengan sebuah kegilaan? Namun hal itu absolut di mata Mikami Teru. Baginya seluruh bumi ini hanyalah milik seorang yang bersih dan berguna. Tak ada pijakan bagi sebuah napas yang kotor; yang telah menginjak-injak keadilan. Dan ia merasa harus menyingkirkan semua kesalahan itu. Apakah Tuhan membuat kesalahan dengan membiarkan manusia-manusia perusak memijak bumi ini? Mungkin pikirnya. Maka dengan segala kemampuannya ia harus membersihkan bumi ini dari para perusak, bahkan melalui hal yang dianggap ‘gila’ sekalipun. Ia tersenyum saat menatap sebuah sinar berpendar terang di hadapannya. Kira atau siapapun itu, ia hanya berfokus pada pembersihan dunia ini.

“Bekerja sama? Jangan bercanda, Kami… kaulah yang berhak mengutusku… aku akan melakukan semua jalan-jalanmu… maka sekarang, tersenyumlah…”

Smooth And Enthusiasm : Matsuda Touta

Kekanakkan? Mungkin kata itu dibenci oleh sebagian orang. Terutama L. Namun bagi Matsuda Touta, ia merasa nyaman dengan kata itu. Mungkin bagi orang yang terlalu menganggap serius hidup ini, tak akan melihat sesuatu yang indah pada kekanakkannya Matsuda. Namun bagi orang yang menyimpan kelembutan dan kebaikan ia akan dengan jelas dapat melihat antusias yang tersembunyi dalam setiap perkataan pria itu. Matsuda adalah seorang pria yang sangat bebas. Sayapnya tak pernah terantai oleh hal-hal yang menyedihkan. Ia tak pernah mengenal sesuatu yang bernama ‘keputusasaan’ atau ‘kepengecutan’. Hidupnya benar-benar senada dengan warna pelangi. Semarak dengan tawa bintang-bintang di malam hari.

“Tersenyumlah, memang tidak semua hal layak dijadikan candaan, namun sebuah tawa tak harus terhilang hanya karena satu kekecewaan… karena akupun tak pernah mengenalnya…”

Beauty And Ignorance : Takada Kiyomi

Kecantikan dan kepercayaan diri. Suatu perpaduan yang selalu dicintai oleh kaum hawa. Sebagai seorang pembawa berita sekaligus pembawa pesan dari sang ‘dewa’, Takada Kiyomi telah mengadopsi kepercayaan diri yang tinggi. Kesempurnaan parasnya seakan masih kurang mempercantik keberadaan dirinya. Suatu tujuan akhir telah ditetapkan. Walau sebuah kemunafikan berhasil dibaui oleh indranya, namun hatinya telah buta sama sekali. Kemewahan sebuah wajah terbayang terus menerus dalam sanubarinya yang haus. Yagami Light; kira. Sebuah dunia baru akan segera dimilikinya. Pastinya keagungan dan kemuliaan akan mengikutinya dibelakang.

“Aku benar-benar layak mendapatkan kursi seorang ‘dewi’… tak ada yang lain… tak ada...”

Mistake And Duty : Ray Penber

Agen yang baik menjalankan tugasnya. Manusia yang baik menjalankan hidupnya dengan bijak. Ray Penber hanya ingin menyudahi seluruh pekerjaannya dan pulang ke pelukan cintanya. Namun sebelum itu ia harus menuntaskan tugasnya; sebagai manusia yang baik. Sebuah tebing yang teramat curam tertutup di hadapannya. Tersaput oleh keangkuhan korbannya. Melangkah dengan pasti, seakan tak merasakan sebuah taring yang mengancam di sudut lehernya, ia dengan tegap melangkah. Namun tebing itu bukanlah sebuah khayalan. Tebing itu senyata sebuah angin yang menari di sela-sela tengkukmu, senyata kematian. Dan akhirnya lengan kematian merengkuhnya lembut.

“Siapa yang memburu dan diburu? Aku telah salah langkah…”

Blunder And Fiancee : Misora Naomi

Pernikahan hanyalah sebuah gerbang yang harus dilalui. Walaupun begitu, Misora Naomi tak pernah melaluinya. Bayangan punggung kekasihnya yang memudar menyapu air matanya. Ia tak lagi dapat merasakan kehangatan sebuah pelukan. Ia telah kehilangan sebuah arti dari sapuan napasnya. Dengan tekad yang kuat, ia menyusuri kembali jalan kematian kekasihnya. Namun betapa menyedihkannya, takdir telah mengkhianatinya. Setelah berjanji akan membantu menemukan pembunuh tunangannya itu, sang takdir berbalik menikamnya dari belakang. Sebuah jalan yang teramat sulit dilalui. Sebab sebuah tangan kasat mata telah mengincar punggungnya. Kira telah bermain dengan jiwa wanita itu bahkan sebelum ia menutup matanya untuk selamanya.

“Mungkin lawanku mustahil dihadapi… aku merasa seperti telah menantang dewa maut itu sendiri…”

Brave And Capable : Stephen Gevanni

Pemberani. Satu kata yang mungkin tidak terlalu pantas diklaim oleh beberapa manusia. Bukan berarti manusia itu tidak sanggup untuk menerimanya, tapi terkadang sang keberanian itu sendirilah yang menolak si manusia itu. Namun bagi Stephen Gevanni, ia tidak merasa dijauhi oleh keberanian. Karena dari awalnya ia telah merasa saling memiliki dengan keberanian itu sendiri. Ia merasa sang dewa maut menatapnya dari balik punggungnya. Mengawasinya. Namun ia tidak pernah goyah. Gevanni menatap sepasang mata kelabu, milik seorang bocah albino. Ia yakin bocah itulah yang diyakininya sebagai penyebab semakin berkembangnya keberaniannya itu. Ia akan melakukan apa yang diinstruksikan oleh bocah itu. Ia percaya kepadanya. Entahlah mungkin ia mampu melihat setitik kebenaran sejati dari matanya. Dan beruntungnya, keberanian selalu berasal dari kebenaran. Gevanni dapat melihatnya lahir dari mata bocah albino itu. Maka dari itulah ia mampu melakukan segala ketelitianya dalam mengemban beban menabur benih-benih kebenaran dalam setiap langkah yang dilewatinya.

“Sungguh, tak ada sesuatupun yang dapat mengalahkan keberanian yang sejati. Lakukanlah bagian kita, maka Tuhan akan berjalan bersama di samping kita…”

Attitude And Responsibillity : Yagami Soichiro

Sungguh menyesakan bila mengetahui ada sebuah cacat dalam sebuah tubuh. Itulah yang tidak disadari Yagami Soichiro. Ia melihat semua hal dari keyakinan dirinya. Sebuah tanggung jawab dan perilaku yang sesuai harus selalu berjalan di sisinya seirama aliran darahnya. Mungkin bagi pria ini, sebuah keluarga begitu berharga untuk di korbankan. Kebenaran dan kebijakan selalu berusaha ditanamkannya pada seluruh anggota keluarganya. Sungguh sebuah gambaran yang sempurna untuk seorang suami dan seorang ayah. Apalagi dalam naungan sebuah keadilan. Yagami Soichiro mengira ia telah berhasil menciptakan sebuah keluarga yang sempurna, sampai ia melihat bayangan dirinya sendiri dalam mata putranya. Sinar kehidupan yang mulai memudar dalam jiwanya saat menatap wajah putra tercintanya, yang sayangnya tidak diketahuinya bahwa orang itulah sesungguhnya yang menyebabkan dirinya akan segera bertemu dengan pemilik alam maut. seorang ‘kira’ yang bersembunyi dalam jiwa putranya.

“Apakah ada yang salah denganku? Ataukah aku hanya membayangkan bahwa hidup sebenarnya bukanlah kenyataan?”

Wise And Auxiliary : Watari

Sebuah anonim. Itulah yang hanya diketahui L. Namun anonim itulah yang telah mengembalikannya pada kehidupan. Watari adalah sesosok malaikat yang sayapnya selalu siap sedia menaungi L. Dari masa lalunya yang telah dilupakan, sampai kepada masa depan yang sebenarnya tidak akan pernah dimilikinya. Namun bersama Watari, L telah memiliki seluruh masa depan semua manusia di bumi ini. L hanya mengenal 2 kata dari sosok Watari. Kebijakan dan tangan yang selalu menolong. Tak lelahnya saat tangan itu selalu menyediakan kue-kue manis di hadapan pintu takdir L. Tangan itu selalu bersinar terang. Bahkan di saat paling terakhir dalam batas hidupnya. Watari selalu menyediakan perlindungan dan kasih sayangnya pada L untuk bisa selalu dinikmati pemuda kesepian itu.

“Bagiku, kau adalah putraku… putraku yang terkasih, L Lawliet…”

Natural And Fading : Yagami Sayu

Seorang adik selalu bisa dijadikan sahabat. Sebuah keputusan yang absurb dari mulut Yagami Sayu. Ia tahu bahwa dirinya selalu menjadi nomor dua dalam kerajaannya. Namun baginya itu sama sekali tidak membuatnya merasa kesal atau marah. Karena walaupun ia nomor dua, ia tetap adalah seorang putri raja. Seorang tuan putri yang sangat dicintai raja dan ratunya. Ya, Yagami Sayu tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan mengalami bentuk siksaan di bawah bayangan kakanya yang sangat sempurna. Bukan hanya itu, namun kakanya itu juga adalah seorang hakim yang angkuh. Seorang yang telah mengundang sebuah pemberontakan dalam kerajaannya sendiri. Yagami Sayu hanya bisa menemukan dirinya terpaku dalam rerutuhan takdirnya sendiri setelahnya. Digiring oleh kebisuan dunianya.

“Mengapa selalu ada akhir untuk sebuah kerajaan, bahkan kerajaan yang teragung dan terhebat sekalipun, masa itu tetap akan mempunyai akhir…”

Care And Disappointed : Yagami Sachiko

Apakah tugas seorang ibu selalu mulia? Yagami Sachiko pernah menggumamkan argumen itu. Yang ia tahu hanyalah bentuk dari kekejaman sebuah pengorbanan dari putra dan suaminya. Saat menatap kepergian suaminya, ia menangis, namun saat menatap punggung putranya yang menghilang, ia tidak menangis. Ia hanya terpaku. Tak ada lagi yang patut ditangisi. Yagami Sachiko telah menjadi korban sebuah peran yang dititipkan takdir pada tangan putra dan suaminya. Sebuah kepedulian. Hanyalah menghasilkan sebuah kekecewaan dalam dunianya.

“Takdir itu selalu melewati tengkukku… ia datang dan pergi sesukanya… dan kini saat aku berharap ia pergi selamanya, ia telah membawa serta suami dan putraku…”

Insanity And Schizophrenia : Beyond Birthday

Dalam mata seorang Beyond Birthday, dunia adalah sebuah kenikmatan. Yang diklaimnya sebagai milik dan haknya. Bagi jiwanya yang ‘sakit’ seluruh warna darah adalah warna pelangi. Seluruh warna kematian adalah warna kehidupan. Mungkin bagi orang normal, hal itu tidak akan pernah bisa dimengerti selamanya. Namun Beyond Birthday tidak repot-repot menggubris hal itu. Ia hanya berpegang pada kebenarannya yang dianggapnya hakiki. Pemusnahan yang akan dilakukannya pada saat sang takdir mengetuk pintu kediamannya. Mengambil napas dan kehidupan dari mata seseorang dinikmatinya sebagai semangkuk sup penyegar saat musim dingin. Menikam nadi dan mencabut jiwa dirasakannya sebagai kenikmatan dalam bercinta. Sungguh tak ada yang lain dalam dunia seorang Beyond Birthday. Bumi ini hanyalah sebuah kenimatan selain arena pertandingan dengan rival abadinya. L.

“Menikmati rasa darah sama nikmatnya seperti menikmati rasa strawberry dalam rotimu di pagi hari…”

Death And Boredom : Shinigami

Kebosanan adalah hal yang sangat dibenci siapapun. Namun adalah sangat mengejutkan bila kebosanan itu juga menganiaya sang dewa kematian. Apapun akan kita lakukan untuk membunuh kebosanan. Maka coba bayangkan apa yang akan dilakukan seorang shinigami untuk membunuh kebosanan. Ya, hal yang lebih dari sekedar fatal. Shinigami menyebabkan jiwa seorang manusia beralih dari misinya yang mulia dan menjadikannya sejahat iblis. Shinigami mengubah sebuah keluarga yang damai menjadi sebuah keluarga yang porak poranda. Shinigami merenggut sebagian jiwa dan keceriaan manusia. Shinigami membisikkan sejumlah kedukaan di hamparan bumi ini. Namun Shinigami juga bisa membuat sang dua jenius tingkat dunia bertemu dan saling mengklaim kesuperioritasannya, mempertemukan titik-titik kecil dari ujung-ujung bumi bersatu dalam pertarungan yang abadi. Dan yang terutama shinigami telah menciptakan sebuah hubungan yang absurb namun indah diantara kedua jenius yang kesepian. Menyatukan takdir mereka dalam keheningan jaman.

“Sungguh, manusia itu adalah makhluk yang teramat menarik… aku tidak pernah salah…”

End Of The Story

DISTRICT 9

0 komentar
Sebuah suara. Menggema tajam, merambat dalam dinding-dinding yang bisu.

Membuka mata, anak berusia 9 tahun itu seraya menekan pelipisnya. Seakan dengan melakukan itu, ia dapat melepaskan kepeningan yang melanda kepalanya. Matanya menangkap kegelapan yang menggumam. Rupanya hari masih merangkak malas di jemari malam.

Ia perlahan menegakkan punggungnya; duduk di tempat tidurnya yang nyaman. Entah apa yang ia pikirkan, terbangun tengah malam yang asing sungguh tak menyenangkan. Ia melirik ke sebelah kirinya; dimana terdapat teman satu kamarnya berada.

Ia menangkap siluet temannya yang dibingkai cahaya rembulan yang pucat. Sosok itu tertidur pulas. Beberapa detik, ia menikmati menatap punggung temannya itu dengan perasaan sayang. Ya, teman satu kamarnya itu adalah seseorang yang spesial untuknya. Sahabat? Lebih dari itu. Selalu ada yang lebih kental daripada darah.

Ia mendesah. Desahan yang bernada kebosanan. Dengan gerakan yang singkat ia segera membenamkan tubuhnya kembali dalam kehangatan selimutnya. Ia mulai berusaha untuk kembali terlelap. Bersamaan dengan itu ia juga berusaha untuk tidak bertemu lagi dengan sesuatu yang telah membangunkannya di tengah malam buta. Mimpi yang ingin dilupakannya. Namun kenyataannya ia tidak pernah bisa melupakannya.

Pagi bergerak lamban. Sang fajar seakan malas membagikan sinarnya pada bumi yang semakin renta.

Pagi itu keadaan Wammy’s House persis seperti pagi-pagi sebelumnya. Sarapan berjalan menyenangkan. Seruangan penuh anak-anak yang saling mengunyah dan menghirup sebuah persahabatan. Sungguh seperti surga.

Namun surga rasanya terlalu jauh bagi seorang anak yang tengah berwajah resah.

“Ada apa? Kuperhatikan ada yang aneh padamu.” Temannya, seorang anak berambut merah, berkomentar.

Anak yang ditanya hanya mengerang kecil.

“Kau sakit?”

“Diam, Matt, kau mengganggu saja…”

“Mello, wajahmu pucat… kau pasti sakit…”

Mello menatap Matt lurus dimatanya. Terkadang sahabatnya itu memang layak untuk dipukul. Mello mendesah keras.

“Matt… aku tidak sakit… aku pastikan itu, jadi tolong, bisakah kau tidak menyebut-nyebut kata itu lagi?”

“Baik. Tidak sakit. Tapi kurasa tetap ada yang tidak beres denganmu.”

Desahan lagi.

“Bagaimana aku tidak pucat jika aku selalu terbangun tengah malam…”

“Kau terbangun tengah malam…?”

Mello menerawangkan tatapannya ke arah langit-langit. Lamat-lamat ia berkata,

“Ya, aku selalu terbangun tengah malam akhir-akhir ini… sudah seminggu…”

“Hm… kau insomnia…”

“Aku tahu apa itu insomnia… tapi bukan, aku tidak insomnia. Aku terbangun tengah malam, Matt…”

“Oke, kau terbangun, kau tidak insomnia…”

“Terkadang kau benar-benar harus melepaskan PSP-mu sejenak, otakmu mulai menyebalkan…” Mello melontarkan keluhannya.

“Dengar, Matt, aku belum memberitahukannya pada siapapun… aku… bermimpi aneh…”

Sejenak pandangan Matt terpaku pada mata ‘serius’ Mello. Sedetik kemudian ia berkedip.

“Apa yang kaumimpikan?”

Mello mengikat tatapan Matt dengan sinar matanya.

“Sebuah seruan… mungkin juga sebuah jeritan… aku tak tahu… tak begitu jelas…”

“Kau bermimpi, Mello. Hanya sebuah mimpi.”

“Matt, aku memimpikan hal itu berkali-kali…”

“Persis?”

“Persis, walau aku tidak selalu menangkap dengan jelas, namun itu terus berulang… terus begitu, setiap tengah malam… dan…”

Matt menangkap sinar ketakutan dalam mata Mello sekarang.

“… mimpi itu membuatku ketakutan, Matt…”

Mello merasa bosan.

Baginya rasa bosan itu selalu sama. Jika sedikit lebih kuat, kebosanan itu dapat membunuhmu. Dan itu bukanlah gurauan.

Sore itu, Mello menemukan lorong Wammy lengang. Sama seperti biasanya. Semua anak selalu menyukai bermain di halaman. Biasanya jam seperti ini dia dan Matt juga bermain di luar, namun saat itu Matt sedang ada urusan di kantor managemen. Mungkin berhubungan dengan nilai, pikir Mello.

Saat berbelok di tikungan ruang rekreasi, Mello mendengar sebuah suara teredam. Suara itu berasal dari ruang yang dilewatinya. Suara sesuatu yang diletakan di lantai.

Mello mendengus. Ia tahu pasti siapa yang ada di dalam ruang itu. Bocah aneh yang penyendiri. Kulitnya transparan seperti ikan laut dalam, pikir Mello. Ia tersenyum sendiri saat memikirkannya.

Ikan laut dalam… begitu transparan, begitu terisolir.

Tanpa disadari, Mello membuka pintu itu. Ia menatap punggung bocah pucat yang tengah menyusun puluhan balok-balok persegi hitam di sekeliling ruangan. Bagus, pikirnya.

Ia memang mengetahui bahwa Near selalu berada di ruangan ini. Tidak pernah bermain di luar gedung. Rasanya seakan sinar matahari bisa membunuh bocah pucat itu jika ia keluar dari tempat ini.

Mello tahu Near sering disana, tapi ia jarang menyapa dan bermain dengannya. Hal yang terakhir itu bahkan tidak pernah dilakukannya.

Near mendengar derit pintu. Tangannya sesaat menggantung di udara, tapi kemudian ia kembali melanjutkan kegiatannya. Ia bahkan tidak menoleh sama sekali.

Pintu ditutup. Mello bersandar pada dinding ruangan di dekat pintu. Tanganya dilipat di depan dadanya. Pandangannya mengawasi. Tajam.

Near tetap melanjutkan kegiatannya, seperti tidak ada siapapun di dalam ruangan itu kecuali dirinya. Sungguh ketenangan yang luar biasa bagi anak seusianya. Ia tidak merasa risih atau terganggu dengan kehadiran seseorang.

“Bagus sekali…” Mello membuka suara. Membuka percakapan.

Near tetap terdiam.

“Kau hebat sekali, Near… nomor satu Wammy…”

Near menghentikan tanggannya sejenak. Ia seperti sedang berpikir. Namun kemudian ia melanjutkan kembali kegiatannya.

Mello melangkah ke dekat Near. Di belakang punggung Near ia berhenti. Mello menekuk sebelah lutunya di belakang punggung Near. Ia kemudian berbisik.

“Mengapa kau begitu kesepian, Near?”

Near menghentikan gerakannya. Ia membeku. Sesaat waktu terasa panjang. Hanya ada kesunyian yang menggantung diantara mereka.

Mellolah yang mengakhiri suasana tidak menyenangkan itu. Ia melangkah ke pintu, membukanya dan kemudian berlalu.

Near menunggu beberapa detik kemudian hingga ia menolehkan pandangannya ke arah pintu yang tertutup.

Ada yang sedih pada pandangannya yang tajam.

“Kau melamun…”

Mello menoleh ke samping kanannya; ke Matt.

Saat itu mereka berdua sedang berada dalam ruang makan. Makan malam tepatnya.

“Apa?”

“Kau tidak mendengarkanku kan tadi?”

“Maaf, Matt… apa yang mau kau bicarakan, tadi?”

“Mello… kau sepertinya harus ke klinik…”

“Ada apa denganmu? Kau yang seharusnya ke klinik.” Mello mendengus kesal.

“Kau masih terbangun tengah malam?”

Mello menatap gelas kacanya.

“Ya…”

Sesaat hening di antara mereka. Suara percakapan anak yang lain mengalun pelan. Diselingi oleh suara monoton televisi yang mengalir di pojok ruangan.

“Mimpi itu semakin lama semakin aneh… sial… aku sama sekali tidak suka ini…” Mello mengumpat kesal.

“Apa sih yang kau mimpikan…?”

Mello tidak mampu menjawab pertanyaan Matt. Bukan karena ia tidak mau, tapi ia tidak bisa. Ia tidak ingat apa yang sesungguhnya dimimpikan, namun yang ia ingat, hal itu sangat menakutkan.

Mello menutup matanya. Seakan dengan begitu ia bisa mengusir semua kegalauannya. Ia mendengar suara-suara di sekelilingnya.

Suara air yang mengalir ke dalam gelas. Suara tawa. Suara dentingan piring. Suara televisi yang mengalir pelan.

“…saat ini banyak pengamat yang mengecam tentang keberadaan tempat itu… “

Suara kursi yang bergeser.

“…kontroversi berita ini membawa dunia ini ke perubahan yang signifikan… pemerintah menyatakan netral dengan masalah ini… sampai pada saat yang dinyatakan ‘berbahaya’…”

Suara seseorang yang memanggil namanya.

“…Mello… Mello…”

Mello mengangkat kepalanya. Tersentak, ia menyadari baru saja tertidur di meja makan dengan lengan terlipat dibawah kepalanya.

Mello memandang tatapan panik Matt.

Sejak kapan ia tertidur?

Rasanya ada yang aneh.

“Matt… sejak kapan aku tertidur…?”

Kepanikan di mata Matt semakin parah.

Near membuka mata. Rasanya barusan ada sesuatu yang mengawasinya.

Malam semakin jauh. Near melihat jam di samping tempat tidurnya. Hampir tengah malam. Near memiliki ruang tidur sendiri. Memang ada beberapa anak yang tidur sendirian di kamarnya, dan Near adalah salah satunya.

Near sedikit terkejut, mengapa ia terbangun tengah malam. Rasanya ada sesuatu yang tengah mengawasinya barusan. Apakah ia bermimpi? Namun ia jelas-jelas melihat sesuatu di ujung tempat tidurnya tadi. Sesaat ia terbangun, ia melihat sesuatu bergerak di ujung tempat tidurnya. Keadaan memang gelap, namun ia cukup jelas dapat melihat bayangan itu.

Beberapa menit, Near menatap tajam bagian ujung tempat tidurnya.

Tidak ada apapun. Tidak ada siapapun.

Kemudian saat Near memutuskan untuk kembali tidur, saat itulah ia melihatnya.

Siluet seseorang yang berdiri diam, bersembunyi di balik bayangan. Cahaya rembulan yang pucat membingkainya. Di ujung tempat tidurnya, Near melihat sesosok bayangan yang sepertinya tak asing, namun saat melihat sinar matanya kemudian---saat sang rembulan berhasil melepaskan dirinya dari awan gelap---Near tersentak kaget.

Near membisikkan namanya.

Kemudian Near melihatnya beranjak dari bayangan dan melangkah perlahan mendekati dirinya di tempat tidur.

Sebuah rambut keemasan yang berkilau ditengah seringai yang liar.

Orang itu sangat familiar, namun sinar matanya benar-benar sangat asing.

“Near sakit?”

Matt mengangguk.

Mello menerawang.

“Sakit apa dia?”

Matt menggeleng.

“Kau mau melihatnya?”

Mello menatap sahabatnya itu.

Tidak ada yang keluar dari mulut Mello. Namu Matt cukup jelas dapat melihat kecemasan dalam sinar mata sahabatnya itu.

Near ditemukan demam tinggi di pagi hari. Ia tidak meninggalkan kamarnya, seseorang yang kemudian sadar bahwa anak pucat itu tidak ada di ruang makan saat sarapan, akhirnya mengecek ke kamarnya. Dan benar saja, Near masih terbaring di tempat tidurnya. Demam tinggi menyerangnya.

Seorang dokter dipanggil. Sebuah diagnosis yang mengkhawatirkan diberitahukan.

Demam yang menyerang Near itu bukanlah demam biasa. Di hari sebelumnya, Near juga terlihat baik-baik saja. Aneh sekali mengetahui bahwa anak itu tiba-tiba sekali diserang demam yang sangat tinggi tanpa diketahui penyebabnya. Jika ini wabah, tidak satupun anak yang lain terserang. Hanya Near sendiri yang terserang penyakit aneh itu.

Dokter mengucapkan beberapa kabar buruk.

Demam itu bisa semakin memburuk. Pengobatan tetap berjalan, namun kemungkinan demam itu bertambah parah sangat besar. Pasien bisa memasuki fase ‘kritis’ bila demam tidak juga mereda dalam 4 hari. Yang terburuk, pasien akan memasuki keadaan ‘koma’ dan kemudian meninggal.

Sungguh bukan demam biasa.

Mello menatap pintu sebuah kamar. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menyatakan keraguan.

“Kau mau masuk atau tidak?” Sebuah suara menyadarkannya.

Mello menoleh ke sampingnya. Ditatapnya Matt. Mello tidak menjawab. Ia masih terdiam sampai pintu berderit terbuka dan dari dalam keluar beberapa anak.

“Mau melihat? Masuk saja… sebelum terlambat…”

Anak itu berlalu.

Sebelum terlambat? Apa maksudnya?

Rupanya Mello belum mengetahui keadaan penyakit Near.

Mellopun melangkahkan kakinya ke dalam kamar itu. Diikuti Matt ada beberapa orang di dalam kamar itu. Tiga orang anak, dan dua perawat.

Kamar itu sama seperti kamar miliknya, namun tempat itu dipenuhi aroma medis. Tempat tidur Near anehnya telah berubah seperti tempat tidur pasien di Rumah Sakit.

Mello tersentak melihat hal itu.

Penyakit apa yang diderita Near? Bukankah hanya demam?

Mello mendekat ke sisi tempat tidur. Dipandangnya wajah bocah pucat itu. Kini wajahnya lebih pucat dari biasanya. Mello menangkap sebuah isyarat kesakitan dari wajahnya. Near seakan tengah menahan rasa sakit yang hebat.

“Sakit apa dia?” Mello bertanya pada salah seorang perawat di dekatnya.

“Dokter berkata penyakitnya bukan demam biasa. Bahkan bila tidak mereda, keadaanya bisa semakin memburuk. Bahkan bisa berujung pada maut…”

“A…” Mello tidak mempercayai pendengarannya.

“Aneh sekali…” Mello mendengar Matt menggumam.

Kedua mata Near terpejam, menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Mello merasakan sebuah perasaan yang asing. Seperti hantaman sebuah palu godam di dadanya.

Tanpa sadar, Mello menggerakan lengannya, menyentuh dahi Near yang pucat. Panas sekali.

Kemudian sebuah peristiwa yang mengejutkan dimulai.

Near membuka matanya perlahan, mungkin karena merasakan sentuhan di dahinya. Iapun menatap langsung mata hijau Mello. Seketika itu juga Near mengubah raut wajahnya.

Mello tersentak melihat perubahan wajah Near yang tiba-tiba. Near membelalakkan matanya, ia seakan sangat terkejut. Sebuah ketakutan yang terpancar kuat menyusul tatapan nanar Near. Mulutnya membuka, ekspresi terkejut. Matanya membelalak ngeri manatap Mello, ekspresi ketakutan. Ketakutan yang sangat.

Near kemudian menjerit kuat.

Semua orang terkejut.

Near tiba-tiba menjerit-jerit liar. Mimiknya mengatakan bahwa ia sangat ketakutan disamping ia seperti mengalami shok yang hebat.

Mello bukan main sangat terkejut dengan tingkah laku Near yang tiba-tiba. Ia segera menarik tangannya dari dahi Near. Ia mundur dan menjauh dari Near, sementara kedua perawat berusaha menenangkan Near dan mencari tahu apa yang terjadi dengan anak itu.

Matt melihat sinar ketakutan dari mata Mello.

Mello sepertinya juga terlihat shok. Ia sangat terkejut dengan jeritan Near.

“A---apa yang kau lakukan, Mell?” Matt menatap sahabatnya panik.

Dari jauh, Mello masih dapat melihat Near menjerit-jerit. Sedetik kemudian semua penghuni Wammy berdatangan ke kamar itu.

Mello menatap Near disela-sela perawat yang menanganinya, yang kini meronta-ronta liar disamping masih menjerit ngeri.

Beberapa anak yang masuk ke kamar itu bersinggungan dengan bahu Mello.

Suara-suara panik menguar tajam.

Mello merasa ada yang aneh. Ia merasa begitu bingung.

“Mello…”

Suara-suara yang sangat jauh memanggilnya.

Perawat menyuntikan penenang pada Near dan anak itu segera berhenti meronta dan menjerit, namun Mello masih manatap matanya.

Near menoleh ke arah Mello. Dari jauh wajah lelahnya menangkap Mello intens. Masih ada ketakutan yang terpancar pada mata Near. Wajahnya menyiratkan penderitaan yang sangat.

“Mell…”

Sebuah suara yang jauh.

“Mello!”

Matt mengguncang pundak Mello kuat.

Mello terkesiap.

“Mello! Kau kenapa?”

“Matt…”

“Mello… apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan kepada Near?”

“A… apa maksudmu? Aku tidak melakukan apapun… dia… dia berteriak tiba-tiba…”

“Mell…?”

“Dia… Matt… ini mungkin gila, tapi sepertinya Near takut melihatku…”

Dari hari-hari sebelumnya Matt memang khawatir pada sahabatnya itu. Ia merasa cemas pada Mello yang akhir-akhir ini bertingkah aneh, namun sekarang ia benar-benar panik.

Beberapa hari berlalu. Near telah memasuki fase yang berbahaya. Ia koma. Sekarang kamar Near telah resmi berubah menjadi sebuah kamar pasien koma sebuah Rumah Sakit. Pihak managemen Wammy dengan bijak tidak memindahkan Near ke Rumah Sakit sebab di Wammypun sebuah kamar bisa disulap menjadi sama dengan kamar sebuah Rumah Sakit paling berkualitas di Inggris. Begitu juga dengan tenaga medis, Wammy menyewa beberapa tenaga terbaik untuk keadaan kritis ini.

Pihak Wammy tidak mau membiarkan anak terbaiknya jauh dari pengawasan.

Sepertinya penyakit Near bukan lagi sebuah demam. Penyakit itu tidak dikenal. Yang pasti penyakit tersebut telah membuat kekebalan tubuh menurun, kemudian menyebabkan suhu tubuh dan fungsi tubuh menurun. Penyakit yang tak dikenal itu awalya hanya sebuah demam yang tinggi. Kini penyakit itu seakan bermutasi ke dalam bentuk yang lebih buruk. Sebutannya tidak diketahui, sebab penyakit itu tidak dikenal.

Near benar-benar berada dalam situasi yang bebahaya sekarang.

Gelap.

Cahaya rembulan sedang terhilang dari wajah bumi. Awan yang angkuh menyembunyikan cahayanya.

Sebuah langkah-langkah pelan.

‘Langkah siapa?’

Ia menatap kakinya sendiri.

‘Ah… ternyata langkahku sendiri…’

Ia terus berjalan. Lorong itu panjang. Dikanan kirinya berderet jendela-jendela besar yang tinggi. Ia tiba diujung lorong.

Hn?

Siapa itu?

Ia menatap sebuah wajah. Rambut yang tergerai lurus sepundak. Keemasan ditimpa cahaya rembulan. Mata yang tajam. Hijau seperti zamrud.

Ah, itu hanya diriku sendiri… Rupanya sebuah cermin.

Ia tersenyum.

Lihatlah diriku. Diriku yang jenius. Dia ingin sekali tertawa saat itu. Menyatakan kesuperioritasan eksistensinya.

Ia berkedip.

Eh?

Apa itu?

Ia menatap bayangan di cermin dihadapannya. Ada yang aneh. Bayangan itu menggerakkan lengan kanannya. Padahal ia tidak melakukannya!

Lengan itu menembus cermin. Perlahan meraih tenggorokannya.

Sebuah seringai jahat tercipta. Bukan, bukan dirinya yang menyeringai. Bayangan di cermin itulah yang menyeringai kejam terhadapnya.

Ia ternganga ngeri.

Sebuah tangan yang dingin mencengkram tenggorokannya kuat.

Mello melepaskan jeritan dari mulut kelunya.

Bersimbah keringat dingin, ia menegakkan tubuhnya. Matanya terbelalak ngeri. Napasnya berhamburan liar dari mulutnya. Untuk beberapa menit yang mengerikan, ia hanya membiarkan tubuhnya membeku di tempat tidurnya. Gelap. Keadaan pasti masih tengah malam.

Ia menyadari baru saja bermimpi buruk. Lagi.

“Mell…”

Suara Matt.

Mello menoleh ke arah suara itu.

“Kau terbangun lagi… kau mimpi lagi?”

Matt turun dari tempat tidurnya, dan menghampiri Mello.

Ditatap wajah sahabatnya yang pucat. Wajahnya menyiratkan kengerian.

“Mell… apa yang kau mimpikan?” Matt duduk disebelah Mello.

“Mell…?”

Mello sesaat hanya terdiam. Masih bernapas dengan cepat. Tubuhnya bergetar hebat.

“Mell… kau gemetaran…”

Mello berusaha menenangkan dirinya susah payah.

“Mello… ada apa?”

Kini pertanyaan itu menuntut jawab.

“Matt… a… aku… kurasa aku melihat diriku…”

Matt mengerutkan dahi. Ia jelas tidak mengerti apa yang dimaksud sahabatnya itu.

“Di… dia… dia bukan aku, Matt… dia… aku tidak mengenalnya…”

Matt seketika merasakan bulu kuduknya meremang.

Hari-hari kedepan entah mengapa terasa sangat menyulitkan bagi Mello.

Tiba-tiba Matt menjauhinya tanpa sebab yang pasti. Setiap ia menyapa dan menegur Matt, sahabatnya itu seakan menjauhinya. Ia memang masih sekamar dengan Matt, namun kini ia merasa seperti tidur sekamar dengan orang asing. Matt seakan telah berubah. Ia tidak lagi mau bersama-sama dengan Mello.

Mello tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Setiap menanyakan alasannya, Matt selalu menatap Mello dengan tatapan yang dingin dan bermusuhan. Matt tidak mau lagi berbicara dengannya. Tidak lagi mau makan bersama-sama dengannya. Matt tidak ingin lagi berada didekat Mello.

Matt selalu menghindar bila Mello berusaha mendekatinya.

Mello merasa ia pernah merasakan perasaan seperti ini.

Ia ingat.

Ia merasakannya saat berada dalam kamar Near.

Saat ia menatap mata Near yang terbelalak ngeri.

Ia pasti sudah gila. Tapi ia benar-benar yakin bahwa Matt juga takut pada dirinya.

Sama seperti Near.

Saat itu waktu makan malam. Mello yang biasanya membagi mejanya dengan sahabatnya yang berambut coklat kemerahan, kini sedirian menyantap makan malamnya.

Keadaan ruang makan tenang. Sejumlah celotehan dan gurauan bernada rendah dari anak-anak memenuhi ruangan. Suara televisi yang mengalir pelan tanpa dipedulikan oleh seluruh ada yang aneh. Namun Mello entah mengapa dapat merasakan tatapan menusuk dari setiap orang.

Apa yang terjadi?

Mengapa semuanya begitu aneh akhir-akhir ini?

Pintu ruang makan terbuka. Matt berjalan masuk. Ia melihat Mello, tatapan mereka bertemu, namun Matt segera memalingkan muka. Ia berjalan ke arah meja menu. Mello awalnya berniat mendiamkan saja. Ia berusaha menahan emosinya dengan mendengarkan berita yang dibacakan dari televisi.

“Daerah itu kini telah menjadi sebuah fenomena yang membesar…”

Ditatapnya punggung Matt yang bergerak tenang. Suara televisi berubah menayangkan sebuah demo yang berakhir dengan keributan dan pertentangan, disela-sela suara pembawa berita yang teredam.

“…Sebuah tempat kontroversi yang keberadaannya telah diketahui publik… kebocoran informasi itu mengakibatkan… pemerintah AS telah menggelar konfrensi… menyatakan bahwa itu adalah kebohongan… “

Namun seketika amarah Mello bangkit. Ia bangkit berdiri dan melangkah mendekati Matt. Tangannya terkepal.

Matt menyadari Mello berjalan ke arahnya.

Mello meraih pundak Matt dan memutar tubuhnya ke arahnya.

“Apa yang terjadi denganmu, tolol?!” Mello memuntahkan amarahnya.

Matt menatap Mello dengan dingin.

“Jangan dekati aku lagi, apa kau lupa?”

“Ada apa denganmu, tolol! Kau tidak mendengarku, hah?”

Nada suara Mello seketika naik seoktaf lebih tinggi.

Semua orang kini mengawasi mereka. Suasana tiba-tiba hening. Hanya ada suara televisi yang mengalun pelan dari arah sudut.

“Kau yang memulainya duluan, Mello! Kupikir kau hanyalah seorang anak yang mencari jati diri, maka aku menerimamu dengan semua sikap dan tingkah lakumu yang liar selama ini, tapi sejak kau lakukan itu kepadaku, aku tahu kau bukanlah anak yang normal! Kau sakit!”

Perkataan itu seketika memukul Mello. Ia terlihat shok.

Mengapa Matt bisa dengan kejam mengatakan itu padanya? Di depan semua orang?

“… sebagian masyarakat resah dengan adanya berita tersebut…”

“A… apa maksudmu?” Mello bisa mendengar getaran dalam suaranya.

“Jangan pura-pura bodoh! Ada hal-hal yang tidak dapat dikembalikan, Mello, begitu juga ada hal-hal yang tak termaafkan. Dan kau telah melakukannya. Kau memaki dan menyumpahiku sesukamu malam itu. harusnya aku yang bertanya apa maksudmu?!”

Mello seketika terguncang.

Memaki? Menyumpahi? Aku? Kepada sahabat baikku sendiri?

Apa yang dimaksud Matt?

“Matt… apa maksudmu… aku tak…”

“Sudahlah Mello, jika ingin meminta maaf, kau seharusnya cukup bilang saja, namun seperti yang kukatakan sebelumnya tadi, ada hal-hal yang tak dapat dimaafkan begitu saja, Mello… kau telah menikamkan hal yang sulit kulupakan… maka jangan berharap maaf dariku semudah itu..”

Sekarang Mello benar-benar tak mengerti.

“Matt…”

“Jangan lupa apa yang telah terjadi dengan Near juga, Mello…”

Mello kini dapat dengan jelas merasakan tatapan menusuk dari segala pejuru. Semua orang menatapnya dengan tatapan yang menuduh.

“Apa…” Mello tidak sanggup berkata-kata.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun seperti yang kau katakan malam itu juga… kaulah yang menyebabkan Near seperti sekarang, Mello…”

Desahan tertahan dari seluruh ruangan.

“Apa---apa yang kau maksud Matt?”

“Sudahlah, Mello…”

Mattpun melangkah dari hadapan Mello. Ia keluar dari ruangan itu.

“…konfrensi pers dengan pemerintah AS akan kembali dilakukan pekan depan… menyinggung tentang keberadaan tempat itu dan kebenarannya, pemerintah…”

Semua orangpun kembali melanjutkan makan malam mereka. Membiarkan Mello yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

Mello seakan terkena serangan listrik sejuta volt. Ia merasakan wajahnya panas. Amarahnya memuncak namun ia juga merasa kebingungan.

Apa yang dimaksud Matt?

Jika mendengar perkataan Matt, ia telah---pada suatu malam---memaki dan menyumpahi sahabatnya itu. Pasti dengan sangat jahat. Dan saat itu pula ia pasti telah mengatakan sesuatu tentang penyakit Near. Namun hal itulah yang membuatnya bingung.

Sebab ia tidak pernah melakukan hal itu.

Ia berani bersumpah bahwa ia tidak akan pernah melakukan hal keji seperti itu.

Tapi Matt tak mungkin berbohong. Jika benar adanya, apa yang terjadi pada dirinya?

Jika benar ia telah melakukan hal nista seperti itu, mengapa ia tidak mengingatnya?

Apa jangan-jangan ada yang salah dengan pikiran dan memorinya? Apakah ia telah tanpa sadar melakukan hal-hal itu? Apakah ada yang salah dengan dirinya? Dengan kejiwaannya?

Tidak masuk akal!

Aku tidak gila!

Aku normal!

“Jangan bercanda, Matt!!”

Malam itu Mello kembali terbangun.

Ia tidak berniat melanjutkan tidurnya. Ia yakin jika ia kembali tidur, mimpi brengsek itu akan kembali lagi menghantuinya. Ya, ia baru saja memimpikan mimpi aneh yang selalu dimimpikannya selama ini. Sesungguhnya ia ingin sekali berbagi kekhawatirannya dengan Matt. Namun ia tahu kini Matt sangat membencinya. Malam ini adalah malam terkhir Matt tidur di kamar ini. Besok ia akan pindah ke kamar lain.

Mello teringat mimpi yang baru saja dilihatnya. Ya, kini ia semakin mengingat mimpi mengerikan itu.

Walau masih bingung, ia dengan yakin dapat memastikan bahwa ia melihat sesosok yang begitu mirip dengan dirinya. Selalu datang mengganggunya dan … seakan ingin membunuhnya.

Mello menggelengkan kepalanya. Ia bisa benar-benar gila jika terlalu memikirkan mimpi itu. Toh itu hanya sebuah mimpi. Namun ia tidak mengerti mengapa ia begitu ketakutan dengan mimpi itu.

Mello menatap punggung Matt yang tertidur pulas di sampingnya.

“Matt…” Mello berbisik lirih.

‘Jangan pura-pura bodoh! Ada hal-hal yang tidak dapat dikembalikan, Mello, begitu juga ada hal-hal yang tak termaafkan. Dan kau telah melakukannya. Kau memaki dan menyumpahiku sesukamu malam itu. harusnya aku yang bertanya apa maksudmu?!’

Saat itu---dangan sangat tidak dipercaya Mello---ia ingin menangis.

“Sial…”

Mello melangkah pelan. Ia memutuskan akan berjalan-jalan di luar sampai fajar tiba. Ia benar-benar tidak sanggup berada di kamarnya. Segala yang berhubungan dengan Matt akan dengan mudahnya mengalir bagai sungai yang deras.

Ia menyusuri lorong yang hening. Langkahnya teredam karpet bulu yang tebal.

‘Apakah aku telah melakukan sesuatu diluar kesadaranku? Jika ya, kapan aku melakukannya? Dan mengapa itu bisa terjadi? Apakah aku benar-benar sudah gila?’

Mello mengguncang kepalanya kuat.

“Diam Mello... tidak ada yang aneh padamu… kau berjalan diluar bukan untuk memikirkan hal brengsek itu…” Mello mengingatkan dirinya sendiri.

Saat kakinya menikung di ujung lorong, ia menatap pintu sebuah kamar.

Kamar Near.

Mello menghentikan langkahnya. Ia memandang pintu itu seakan pintu itu sebuah ruang eksekusi. Entahlah ia merasa begitu takut memasukinya. Sejak kejadian Near yang menjerit itu, ia tidak pernah lagi melihat anak itu. Ia begitu takut.

Apa yang ditakutinya?

Apakah ia takut Near akan menjerit lagi?

Tidak, Mello takut jika ternyata benar dirinya memang terbukti tidak normal.

Near yang ketakutan saat melihatnya, Matt yang juga mengatakan hal yang mustahil… apakah didepan mata mereka dirinya seperti makhluk asing yang mengerikan?

Apa yang telah terjadi sebenarnya?

“Omong kosong!”

Mello meraih kenop pintu dan membukanya.

Ruangan itu gelap. Hanya ada secercah cahaya kecil yang berasal dari lampu di sudut ruangan. Aroma medis lebih menguar tajam dari terakhir kali Mello masuk ke ruangan itu. Ditengah ruangan terdapat tempat tidur yang besar dengan peralatan infus di sampingnya. Ruang itu telah benar-benar mirip seperti sebuah kamar Rumah Sakit untuk pasien koma. Near terbaring diam di tengah tempat tidurnya yang mewah. Terantai oleh infus dan keadaan ‘koma’nya.

Mello mendekat ke tempat tidur. Ia memandang wajah Near yang tenang. Terakhir kali ia melihatnya wajah itu tengah menahan kesakitan yang hebat. Namun saat ini bagi Mello sama saja. Keadaan Near malah terlihat semakin parah sekarang. Ia setengah berharap bahwa Near akan membuka matanya dan menatapnya. Mello benar-benar mengharapkan itu, walaupun jika sekali lagi Near akan menjerit ngeri melihatnya, walau sekali lagi semua orang akan menatapnya dengan tatapan yang menghakimi. Ia tidak keberatan. Yang terpenting anak itu bisa terbangun.

“Ada apa Near? Mengapa kau begitu takut melihatku?”

‘Kau itu liar, Mello… kau sakit…’

Tuhan… ada apa denganku? Mello membatin.

Ini semua sungguh tidak masuk akal.

“Near… apa yang terjadi padamu…”

Sebuah dorongan aneh menguasai Mello tiba-tiba.

Tangannya bergerak menyusuri kening Near. Membelai helai-helai rambutnya yang suputih salju.

“Ayo, berteriaklah, Near… menjeritlah… aku ingin kau terbangun…”

Kini jemarinya membelai lembut sisi wajah Near. Merasakan kulit wajahnya yang dingin dan pucat.

“Aku ingin kau terbangun… aku ingin kau kembali menyusun puzzlemu…”

Jemari Mello membelai kepala Near lembut. Tanpa disadari Mello, tubuhnya bergerak mendekati tubuh Near yang terbaring diam. Kini kedua tangan Mello memegang kedua sisi wajah Near. Wajah Mello bergerak mendekati wajah Near yang tertidur. Mellopun dapat merasakan hembusan napas Near yang pelan. Mello memejamkan matanya perlahan.

“Bangunlah, Near…”

Bibir Mellopun dengan lembut menyatu dalam lipatan bibir Near yang dingin.

“Bangunlah, Near…”

Mello merasakan bibir Near yang dingin.

SRAK

Mello terkesiap. Ia menegakkan tubuhnya dan seketika menoleh ke belakangnya.

Keadaan gelap. Namun Mello yakin ada sesuatu di ujung sana.

Ada seseorang.

“Si… siapa itu?” Mello berseru tajam, namun ia tak mengerti mengapa suaranya terdengar takut di telinganya.

Jika memang ada seseorang, mengapa daritadi Mello tak menyadarinya? Harusnya ia bisa melihatnya saat memasuki ruangan ini tadi.

Mello yakin bahwa di ujung sana,di dekat jendela yang disirami cahaya rembulan yang pucat, ada seseorang yang tengah mengawasinya.

Awan yang berarak bergerak. Cahaya bulan menyeruak membanjiri ruangan lewat jendela yang tertutup tirai tipis.

Mellopun akhirnya melihatnya.

Melalui matanya sendiri, Mello tengah meyaksikan mimpi buruknya yang selama ini meghantuinya setiap malam.

Mimpi buruk yang selama ini mengganggunya,akhirnya kini hadir di depan matanya.

Namun ada satu hal yang ia sadari; saat ini bukanlah mimpi.

Saat ini adalah kenyataan.

Sosok itu akhirnya keluar dari kegelapan yang menyelubunginya.

Rambut lurusnya yang tergerai sebahu, membingkai wajahnya yang sedikit dimiringkan ke kanan. Cahaya bulan membuat rambutnya yang pirang bersinar semakin indah. Wajahnya berbentuk oval sempurna. Pundaknya jenjang dan kulitnya bersih. Ia mengenakan T-shirt hitam dan jeans berwarna hitam.

Mello ingin menjerit. Kengerian kini menguasai dirinya.

Ya, orang yang ditatapnya itu sungguh mirip dengan dirinya.

Bukan, bahkan Mello berani bertaruh jika sosok di depannya itu adalah dirinya sendiri.

Ia seperti sedang melihat ke dalam cermin.

Mello membelalakkan matanya saat sosok di depannya itu tersenyum begitu manis. Begitu mengerikan.

Tidak, itu bukan diriku.

Ya, akhirnya Mello yakin bahwa semirip-miripnya sosok di hadapannya itu dengan dirinya, tapi tetap ada yang membedakan di antara mereka berdua.

Sosok itu memiliki sinar mata yang sangat asing. Begitu juga senyumannya.

Ia sangat asing. Seakan makhluk didepan Mello itu bukanlah manusia.

Mello terkesiap saat sosok itu menggerakkan kakinya, dan berjalan ke arahnya. Refleks, Mello bergerak mundur. Kakinya kemudian berbenturan dengan tempat tidur Near. Ia menoleh sekilas ke arah Near. Anak itu masih tertidur.

Sosok itu berjalan hingga berjarak satu meter degan Mello, kemudian ia berhenti.

“Si… siapa…”

Senyuman sosok di depannya berubah menjadi sebuah seringaian yang liar.

Mello merasakan bulu kuduknya meremang.

“H-a-i… Me-llo…”

Suara itu begitu mirip dengan suara Mello. Namun cara ia berbicara sangat ganjil. Seakan seperti orang asing yang tengah belajar mengucapkan sesuatu dalam bahasa Inggris.

Mello terlalu terpana untuk menjawab sapaan sosok didepannya itu.

“Ak-hir-nya… sa-ya… ber-te-mu… de-ngan-mu…”

Seringaiannya bertambah dalam.

Sungguh Mello dapat melihat sesuatu yang mengerikan dalam sosok sempurna di hadapannya ini. Sosok itu begitu indah, bahkan lebih indah dan sempurna dari raga Mello sendiri. Lebih indah dan sempurna dari pada sosok seorang manusia. Namun ada yang mengerikan di dalam kesempurnaannya itu.

Itulah yang paling mengerikan.

“Si… siapa kau?” Mello berusaha berseru, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah bisikan ketakutan.

“Aku menyukaimu… Mello”

Cara bicara sosok asing itu tiba-tiba berubah sempurna, tidak lagi ganjil seperti sebelumnya.

“Aku menyukaimu, Mello”

Mello tiba-tiba merasakan sesuatu yang asing menyeruak masuk ke dalam raganya. Tubuhnya seketika lemas. Kakinya goyah dan iapun tersungkur ke lantai.

Mello mengernyit. Ia merasakan seluruh tubuhnya kaku. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Seakan ada sebuah kekuatan yang menahan seluruh gerakannya.

Sebuah kulit yang dingin menyentuh lengannya lembut.

Mello terkesiap dan menatap sosok asing yang begitu mirip dengan dirinya itu berlutut di sampingnya. Ia menjulang dari atas tubuh Mello yang terkulai lemas. Sosok itu menyentuh lengan Mello, dan merayap naik ke pundak dan berakhir pada sisi wajahnya.

Mello dapat merasakan kulitnya yang sedingin es. Menatap panik wajah dirinya sendiri tersenyum liar seakan tengah menikmati apa yang dilakukannya saat ini. Ia menatap mata yang begitu mirip dengan matanya, rambutnya yang pirang keemasan tergerai indah di pundaknya yang jenjang. Mello mulai merasa dirinya akan segera menjadi gila.

Sementara sosok itu membelai-belai rambut Mello lembut, tubuhnya semakin mendekat ke tubuh Mello yang berbaring tak berdaya.

Mello kini merasakan napasnya yang asing berhembus di wajahnya. Sosok itu menemukan telinga Mello, seketika Mello mendengar sebuah suara dalam kepalanya.

‘Aku sudah lama menginginkanmu…’

Mello merasa adrenalinnya membuncah. Ia merasa benar-benar takut sekarang. Ia dapat dengan jelas mendengar makhluk itu berbicara di dalam kepalanya. Dengan suara yang sama persis dengan suaranya sendiri.

Mello berusaha menjawabnya ditengah-tengah kengerian yang menderanya.

‘Siapa kau?’

‘Aku? Tidak perlu tahu siapa aku… yang perlu kau tahu, aku sangat menyukaimu, manusia…’

Mello terkesiap ngeri.

Manusia?

Mello semakin ngeri mendengar pernyataan itu.

‘A… apa maksudmu? Kau… kau bukan manusia?’

‘Aku?’

Sosok itu menyeringai.

‘Yang pasti aku tidak berasal dari planet ini…’

‘A---‘

‘Aku telah lama mengawasimu…’

Mello merasakan kini jemari makhluk itu meremas pundaknya, menekan-nekan lembut lengannya. Ia seakan menikmati menyentuh tubuh Mello.

‘Aku melihatmu, dan kemudian tertarik padamu… caramu berbicara, berjalan, tertawa, semuanya sangat membuatku senang. Akhirnya aku menyukaimu. Aku ingin bertemu denganmu, merasakanmu…’

‘A---‘

‘Namun kebetulan aku tidak menyukai satu hal… denga bahasa kaummu, kalian menyebutnya sebuah kecemburuan…’

Mello membelalakan matanya.

Tidak mungkin!

‘ya, aku sangat membenci manusia-manusia yang dekat denganmu… manusia yang ada di ruangan ini… dan manusia yang berambut merah itu… aku membenci mereka…’

‘Jadi kau penyebab Near sakit… mengapa… apa yang kau lakukan kapada Near?’

‘Manusia itu cukup berbahaya untukku… aku dapat melihatnya… kau begitu menyayanginya…’

‘Omong kosong! Kau tahu apa? Aku sangat membencinya…’

‘Mello… kau tidak dapat membohongi makhluk sepertiku… peradabanku jauh lebih tinggi diatas peradaban kalian… begitu juga dengan kemampuanku melihat suatu kenyataan… kau menyayanginya… begitu menyayanginya…’

‘Sial… apa yang kaulakukan terhadapnya?’

‘Aku telah mengambil jiwanya… sebentar lagi ia akan mati…’

Mello merasakan desakan amarah di dadanya.

‘Jangan! Dia tidak ada hubungannya denganku… bila kau mau, bunuh saja aku…’

Kemudian Mello mendengar sesuatu yang tidak akan mungkin dilupakan seumur hidupnya. Tidak akan pernah.

Sebuah suara tawa yang mengerikan dan begitu asing memenuhi kepalanya. Bukan tawa manusia. Suara tawa yang berasal dari luar dunianya. Mello begitu ketakutan saat mendengarnya menyeruak ke dalam pikirannya.

‘Aku tidak mungkin membunuhmu… tapi, si rambut merah itu… dia akan berakhir seperti manusia berambut putih ini…’

‘JANGAN!’

Sosok itu melepaskan diri dari Mello. Ia menegakkan tubuhnya dan beringsut ke tempat tidur Near. Mello hanya dapat menatapnya dari posisinya yang terbaring menyamping di lantai.

Sosok itu tersenyum ke arah Mello dan kemudian meraih tenggorokan Near.

‘Ja…jangan… kumohon… ‘

Mello menatap tak berdaya saat sosok itu mulai menekan tenggorokan Near

‘MATT!’

Seperti sebuah keajaiban pintu ruangan itu menjeblak terbuka.

Makhluk itu bertatapan dengan Matt. Sesaat ekspresi yang ada di wajah Matt adalah kejijikkan, karena melihat Mello tengah membunuh Near. Namun kemudian wajah Matt berubah ngeri saat menatap tubuh terkulai Mello di lantai.

“Mello?”

Mello tidak mampu melepaskan satupun kata dari mulutnya. Ia hanya menatap Matt penuh makna, dan seakan seperti sepasang saudara, Matt tahu apa yang tengah terjadi, walau ia sama sekali tidak mengerti.

“Siapapun kau! Jauhi dia!” Matt berseru pada makhluk itu.

Makhluk itu mengerutkan dahinya.

Kemudian Mellopun mendengar suara-suara yang sangat mengerikan dalam kepalanya. Sepertinya makhluk itu marah, dan ia tengah mengumpat dalam kepala Mello, namun dalam bahasanya sendiri.

Matt menghambur ke arah makhluk itu, ia menahan tubuh makhluk yang sangat mirip dengan sahabatnya itu di tempat tidur, di sisi Near yang tengah terbaring.

“Matt, apa yang kau lakukan? Aku Mello, yang harusnya kau serang adalah makhluk di bawah itu, aku tengah menolong Near…”

Mello dengan ngeri mendengar makhluk itu berbicara seperti dirinya.

Matt sesaat ragu.

“Matt, cepatlah, kau mau makhluk itu kabur?”

Matt menatap Mello di lantai di bawahnya. Mello hanya berdoa agar Matt tak mempercayai makhluk laknat itu. Matt tidak tahu bahwa jiwanya tengah dalam bahaya. Maklhuk itu mengatakan bahwa ia akan membunuh Matt, setelah menghabisi Near.

Aku percaya padamu Matt!

Matt melepaskan makhluk itu dari serangannya, Mello menatapnya tak percaya.

“Matt, kau sungguh cerdas…”

Seketika setelah makhluk itu mengucapkan kalimat itu, Matt menghajar wajahnya.

Makhluk itu terdorong ke dinding.

Sesaat hening. Makhluk itu perlahan menoleh ke arah Matt. Wajahnya kini tidak lagi terlihat manis. Matt menatap sosok seorang Mello dalam ekspresi yang sangat mengerikan. Namun ia tahu itu bukanlah Mello.

Makhluk itu menyeringai kejam.

Sedetik kemudian, Matt terlempar ke dinding dengan kuat. Iapun tersungkur ke lantai, di seberang Mello.

‘Mello milikku…’

Suara itu mendera pikiran Mello.

Makhluk itu mendekati Matt, ia meraih T-shirt Matt, dan menekan tenggorokan Matt tanpa belas kasihan.

Mello merasakan amarahnya membuncah. Ia memang tak bisa menggerakkan tubuhnya, namun ada sesuatu dalam hatinya yang memberi kekuatan untuk menolong sahabatnya itu.

‘Jangan… jangan…’

Seketika Mello terlepas dari ikatan misterius yang menguncinya. Iapun menjerit sekuat tenaga.

“JANGAAAAAAAAAAAN!”

Makhluk itu terkejut. Ia menatap Mello yang terkulai lemah di lantai.

Suara Mello mengejutkan seluruh Wammy. Sebentar lagi semua orang akan berlari ke kamar tersebut.

Makhluk itu melepaskan Matt. Ia kemudian terdiam sejenak. Ia menatap Mello.

Ada yang sedih dalam matanya yang asing.

Mellopun menangkap pandangannya.

Sesaat untuk waktu yang terasa lama mereka berpandangan.

Suara-suara keributan mulai terdengar di luar.

Makhluk itu perlahan memalingkan muka. Ia menuju jendela dan membukanya. Seraya naik ke atas kusennya, makhluk itu sedikit menoleh ke arah Mello.

Mello mendengar suara dalam kepalanya. Dalam suara yang sama dengan yang ia miliki.

‘Aku memang menyukaimu… namun aku tidak mampu memisahkan kesetiaan seorang manusia… itulah terkadang yang membuat mereka begitu kuat… manusia memang makhluk yang menarik… mereka lemah, namun setia…’

Makhluk itu mengeluarkan semacam sayap pada punggungnya.

Ia menoleh dan tersenyum ke arah Mello.

‘Selamat tinggal, Mello… senang mengenalmu, manusia…’

Kemudian makhluk itupun menghilang dalam langit malam yang ditaburi bintang-bintang. Mello sempat melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Sosok yang sangat mirip dengan dirinya yang tengah melayang di antara lebatnya malam. Begitu indah.

Sebuah suara pintu yang terbanting membuka.

Seruan puluhan suara yang panik.

Jeritan dan teriakan yang kemudian tercipta.

Wammy menyaksikan sebuah sejarah baru, peradaban dahsyat dari sebuah dunia di luar bumi baru saja menyentuh dinding-dindingnya yang kokoh.

Seminggu berlalu sejak kejadian yang menggemparkan itu.

Semua mendapati kekacauan yang ganjil dalam kamar Near malam itu. Matt yang terluka, Mello yang terkulai lemah, dan Near yang seakan tengah sekarat. Namun Mello dan Matt tidak menceritakan yang sebenarnya pada semua orang, karena mereka tahu tidak akan ada seorangpun yang akan mempercayai cerita mereka. Mereka hanya mengatakan bahwa ada seorang pencuri yang masuk ke dalam kamar Near. Walau dipelototi karena alasan mereka yang tidak masuka akal, Mello dan Matt tetap bersikeras mengatakan hal tersebut.

Kejadian buruk itu telah berlalu.

Entah kenapa sejak kejadian itu Near perlahan-lahan pulih dari penyakitnya. Secara ajaib, Near sembuh. Namun ada hal yang aneh. Ia sama sekali tidak mengingat apapun dari awal ia terserang demam hingga ia sembuh total.

Ia tidak mengingat bhawa ia menjerit ngeri saat melihat Mello. Dan semua orang dengan bijaksana tidak memberitahukan hal itu pada Near.

Near tidak mengingat apapun.

Sedangkan Mello dan Matt masih mengingat dengan jelas setiap hal yang terjadi malam itu. Namun mereka juga dengan bijak tidak mengatakannya kepada Near.

Siang itu, Mello kembali menemani Near di ruangan bermainnya.

Mello menatap Near sambil bersandar di dinding. Ia mengawasi jemari Near yang putih menyusun sebuah ‘bangunan’ yang cantik.

Near terdiam. Mello juga terdiam. Namun Mello tetap menatap Near melakukan kegiatannya.

“Bagus…”

Near berhenti sejenak.

“Terima kasih…”

Mello terkejut dengan ucapan bocah itu.

Ia tergelak kecil.

“Near…”

Mello mendekati Near. Ia membungkukkan badan di belakang Near

“Apa yang kau ingat dari malam saat kau terserang demam? Kau sama sekali tidak ingat?”

Near menoleh menatap Mello dari balik bahunya. Ia menatap Mello yang membungkuk di belakangnya.

“Aku… hanya mengingat satu hal…”

Mello mengawasi wajah Near yang tengah menerawang.

“Itu pasti sebuah mimpi…”

“Apa itu Near?”

Apa yang dilakukan makhluk itu padamu?

Near memalingkan muka. Ia kembali menyusun ‘bangunan’nya.

Mello menunggu sejenak, namun ia kemudian menyerah.

Mello melangkah ke pintu dan membukanya. Saat akan menutup pintu, ia mendengar Near berbisik.

“Kau… menciumku, Mello… dalam mimpiku, kau datang ke kamarku, dan kemudian menciumku…”

Mello terserang sengatan listrik dari dalam tubuhnya sendiri.

Hari beranjak. Senja menjelang.

Mello dan Matt tengah menikmati makan malam mereka.

Seperti biasa, keadaan ruang makan Wammy adalah yang paling menyenangkan di seluruh ruang makan di seluruh Inggris.

Ruang makan itu diselimuti oleh celotehan ramai anak-anak, dan diselingi sebuah suara monoton dari sebuah televisi.

“Btw, Matt… mengapa kau tahu bahwa itu bukan aku?”

Matt menatap Mello. Ia tertawa kecil.

“Karena kau takkan menyebutku cerdas, tidak dalam keadaan apapun… dalam keadaan waktu itu, kau yang asli harusnya mengumpatku atau memarahiku karena begitu lama baru menemukanmu… kau tidak mungkin memujiku, Mello… tidak selamanya…”

“Kau benar…”

Mello menyeringai jahil.

“Kau pandai, Matt…”

Matt memandang Mello tajam.

Kemudian tawa yang lepas meledak dari antara mereka.

“Aku tak menyangka, kau punya pengagum rahasia…” Kata Matt jahil.

“Siapa yang mau punya pengagum makhluk asing? Jangan bercanda…”

Matt tertawa tergelak-gelak.

“Lalu, bagaimana kau tahu kemana aku pergi malam itu? Bukankah kau seharusnya sudah sangat membenciku?”

“Aku… sesungguhnya saat kau, maksudku makhluk itu memaki dan menyumpahiku, aku melihat ada yang ganjil dari sinar matanya. Namun saat itu aku tidak mempercayai hal-hal seperti itu, yang kutahu itu adalah kau… namun, kemudian malam itu, aku mengikutimu keluar kamar. Aku melihatmu masuk ke kamar Near. Sebenarnya saat itu aku menunggu di luar kamar. Bagimanapun hatiku tetap merasa ada yang salah dengan semua yang terjadi… aku menunggumu diam-diam. Sempat juga penasaran apa yang mau kau lakukan dalam kamar Near. Lalu aku mendengar jeritanmu…”

“Eh? Aku tidak menjerit…”

“Masa? Kau menjeritkan namaku… kencang sekali… jadi aku masuk ke dalam, dan awalnya aku melihatmu tengah mencekik Near, namun… yah, lebih baik tidak usah dibahas lagi…”

Mello menatap sahabatnya dengan penuh rasa sayang.

Mello tahu ia tidak pernah berteriak saat di dalam kamar itu, ia yakin bahwa tubuh dan suaranya masih terkunci oleh kekuatan misterius makhluk itu. Namun Mello ingat ia memang menjeritkan nama Matt saat makhluk itu ingin membunuh Near. Namun ia berteriak dalam hati.

Apakah Matt dapat mendengarnya?

Mello tidak mau memikirkannya, Biarlah itu menjadi sebuah rahasia yang manis diantara dirinya dan Matt.

“Begitu… huh, kau sangat dungu, Matt… masa kau tidak dapat membedakanku dengan makhluk aneh seperti itu…”

“Tapi, Mello, dia… dia lebih indah darimu… yah, mungkin karena ia bukan manusia, tapi tetap saja, seindah apapun ia, tetap tidak ada sinar kehidupan dalam matanya. Ia seperti guci. Indah namun mati.”

“Ya, aku juga berpikir seperti itu… tapi, Matt… bolehkah kutahu apa yang dikatakan oleh makhluk itu saat memaki dan menyumpahimu?”

Matt menatap mata Mello.

“Lebih baik kau tidak perlu tahu… lupakan sajalah… bagiku bukan kau yang melakukan itu, walau kalian sangat mirip… dan kurasa akhirnya kau telah mengetahui arti dari mimpimu selama ini, kan?”

Suara televisi kembali mengambil alih keheningan diantara mereka.

“Ayolah, aku sudah selesai…” Matt menyudahi percakapan.

“Baik kalau begitu…”

“Hn, Mello, kau berhutang nyawa padaku, maka mulai sekarang tolong hormati aku ya…”

“Mati dulu sana, baru aku mau menghormatimu…”

“Dasar maniak coklat tidak tahu sopan santun dan etika…”

Mereka meninggalkan meja.

Suara-suara dibelakang mereka mengalun pelan, dentingan pisau, air yang dialirkan, gelak tawa, gelas kaca yang beradu, kursi yang bergeser, meja yang dipukul pelan, dan suara televisi yang dilupakan yang mengalir di pojok ruangan.

“…Akhirnya keberadaan tempat itu dinyatakan hanyalah sebuah identitas palsu oleh pemerintah AS. Mereka menyatakan bahwa daerah itu bukanlah tempat dimana makhluk asing dari luar bumi berkumpul dan diteliti oleh peneliti AS… juga tidak ada hubungannya dengan sekelompok sekte dari sebuah doktrin agama tertentu… atau juga bukan sebuah konspirasi politik… District 9 yang diketahui berada di pedalaman Afrika Selatan hanyalah isapan jempol sekelompok pengusaha film… Pemerintah AS menyatakan dengan jelas bahwa tempat itu hanyalah sekedar isu…”

“Matt, coklatku tinggal dua… aku akan membunuhmu jika kau tidak melapor ke Roger besok untuk membelikan persediaan coklatku… ”

“Terserah…“

Suara pelan pintu yang terbanting menutup.



.

Pemilik Blog

Foto saya
jakarta selatan, jakarta, Indonesia
w orangnya simple aja ^^